BAB 2
|
HAKEKAT Pembelajaran IPA sd
Pembelajaran IPA masih terpengaruh oleh paradigma pendidikan lama, yaitu pembelajaran berpusat pada
guru, sementara siswa sebagai "gelas
kosong" yang harus siap diisi sesuai kemampuan guru. Dalam proses
pembelajaran, biasanya siswa duduk manis, mendengarkan dan mencatat konsep-konsep abstrak yang disampaikan guru,
tanpa bisa mengkritisi apa arti konsep itu. Saat latihan, mereka mungkin bisa mengerjakan soal-soal yang setipe dengan yang dicontohkan guru. Namun, pada saat ada soal
yang membutuhkan pemahaman konsep, mereka pun kesulitan dalam menyelesaikannya,
sebab mereka bukan
belajar memahami konsep, tetapi mencatat konsep.
Implikasinya
adalah terjadinya proses keterasingan siswa dari lingkungannya sendiri. Siswa
tidak paham untuk apa sains itu dipelajari, karena konsep-konsep sains yang
mereka pelajari tidak dapat mereka terapkan dalam kehidupan sehari harinya. Dengan
demikian, mempelajari sains merupakan beban bagi mereka dan akhirnya siswa pun
merasa sains merupakan momok, yang menakutkan dalam proses pembelajaran ataupun
dalam evaluasinya. Padahal, semestinya proses pernbelajaran sains dimulai dari
mengamati fenomena alam secara terstruktur, menganalisnya lalu menyimpulkan
penyebab fenomena alam tersebut. Setelah itu, barulah memprediksikan fenomena
alam yang akan terjadi berdasarkan simpulan tadi. Dengan kata lain, proses
pembelajaran yang bersifat induktiflah yang ditekankan di sini, walaupun sifat
deduktif tidak diabaikan.
Proses
pembelajaran yang menekankan pengamatan secara terstruktur itu tentunya
memerlukan guru yang memahami bidang keilmuannya secara mendalam, luas, dan
menjiwainya serta menguasai ilmu pedagogi secara memadai. Karena itu
peningkatan kompetensi guru, baik dalam pemahaman akan mata ajarannya, juga
dalam pedagoginya merupakan sesuatu yang mutlak.
Guru yang kompetensi tentu saja guru tersebut lebih memahami ilmunya dan membuat proses pembelajaran menjadi lebih menarik, bergairah, menyenangkan, dan menantang siswa.
Guru yang kompetensi tentu saja guru tersebut lebih memahami ilmunya dan membuat proses pembelajaran menjadi lebih menarik, bergairah, menyenangkan, dan menantang siswa.
Hal
yang lebih mendasar adalah menumbuhkan terjadinya pergeseran pola pikir guru
dalam pembelajaran sains. Di lain pihak, siswa pun mesti didorong untuk menjadi
pembelajar sains yang aktif, kreatif, dan kritis serta menyadari bahwa
mempelajari sains merupakan ibadah dan kebutuhannya. Selain itu, bukankah dalam
kurikulum yang diutamakan adalah kompetensi siswa dan bukan habis tidaknya
materi yang dipelajari? Jika dalam waktu yang ditentukan, siswa dianggap telah
kompeten, sementara materi belum habis pembelajaran pun dapat dilanjutkan
kepada tema yang lain.
Alasan
lain berupa minimnya fasilitas laboratorium dapat disiasati dengan kreativitas
guru dan siswa, karena sesungguhnya laboratorium pembelajaran sains adalah alam
raya ini. Alam raya ini menyuguhkan beragam fenomena yang menarik dan terkadang
penuh misteri. Terlebih, sebenarnya bukan lengkap tidaknya laboratorium, tetapi
efektif tidaknya penggunaan fasilitas pembelajaran sains tersebut. Begitu juga
dengan fasilitas baru dalam pembelajaran, yaitu jejaring, misalnya situs
pendidikan dari Diknas, www.edukasi.net, harus
dimanfaatkan secara maksimal.
Pembelajaran
sains yang menumbuhkan kreativitas guru dan siswa, secara berangsur-angsur arah
pembelajaran sains akan bergeser kepada siswa sebagai subjek dan guru sebagai
fasilitator, sehingga siswa terkondisikan menjadi kritis, kreatif, dan dapat
mengeksplorasi alam sesuai dengan kemampuannya. Apabila ada perbedaan kecepatan
hasil proses belajar, misalnya ada siswa yang cepat dalam belajar sementara
yang lain lambat, maka siswa yang cepat itu haruslah didorong untuk menjadi
tutor sebaya agar beban psikologis siswa yang lambat terkikis sedikit demi
sedikit dan siswa yang cepat dalam pembelajaran termotivasi untuk terus maju. Harapan
kita agar sains lebih menarik dan menyenangkan untuk dipelajari siswa, demikian juga
gurunyapun menarik dan menyenangkan.
A.
Kerangka Isi
Pembelajaran IPA di SD memandang siswa SD sebagai pembelajar
yang menjadi subyek pembelajaran di kelas. Sudut pandang tersebut menempatkan
siswa SD menjadi fokus aktivitas belajar. Bagaimana siswa dapat belajar secara
bermakna dalam kegiatan belajar perlu guru memfasilitasi sarana dan prasarana
belajarnya selain guru telah merancang pendekatan, model, metode ataupun media
pembelajaran yang secara langsung akan menjadi bagian dalam proses pembelajaran
tersebut. Memfasilitasi bukan berarti guru hanya menyediakan fasilitas belajar
kemudian guru boleh meninggalkan kelas selama proses pembelajaran, misalnya
siswa diberi tugas sementara gurunya pergi dengan alasan bukankah ini KBK
ataupun KTSP dimana siswa belajar mandiri. Bukanlah demikian. Tidak ada alasan
apapun guru meninggalkan kelas selama siswanya belajar. Jika guru beranggapan
bahwa dirinya kurang berperan dalam tugas-tugas kelompok di kelas, sehingga
guru tercenung sendiri, ini bukanlah guru yang profesional. Guru tetap
membimbing tugas-tugas yang telah diberikan sampai siswa menemukan konsep baru.
Sagala, S. (2003) menuliskan bahwa pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan
yang dirancang untuk membantu siswa mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai
yang baru.
Pada bab ini secara umum terdiri dari:
1.
Dasar Psikologis
Dalam Pembelajaran IPA SD
2.
Pembelajaran IPA
di SD
3.
Latihan Mandiri
B.
Tujuan Pembelajaran
Melalui proses belajar dan berpikir rasional diharapkan:
1.
Mahasiswa dapat
memberikan uraian tentang alasan pentingnya dasar psikologis dalam pembelajaran
IPA di SD.
2.
Mahasiswa dapat
memaknai tentang pembelajaran IPA di SD.
3.
Mahasiswa dapat
menganalisis tentang peranan lingkungan belajar siswa.
4.
Mahasiswa dapat
menyimpulkan berbagai paradigma dalam pembelajaran IPA di SD.
SUB BAB 1
|
DASAR PSIKOLOGIS PEMBELAJARAN IPA
(Sumber Utama: Tahmid Sabri. 2008.
Inisiasi 2. Pengembangan pembelajaran IPA SD)
A.
Psikologi
Kognitif
Psikologi kognitif yang mempengaruhi pendidikan IPA,
yaitu: behaviourist, developmental, dan constructivist
serta information proccessing.
1. Behaviorisme
Ciri teori behaviorisme adalah (1) mengutamakan unsur-unsur atau
bagian-bagian kecil; (2) bersifat mekanistis; (3) menekankan peranan lingkungan;
(4) mementingkan pembentukan reaksi atau respon; dan (5) menekankan pentingnya
latihan (Syaodih Sukmadinata, 2003 dalam Sagala, s. 2009). Ada dua hal peting dalam
pembelajaran behaviourist. Pertama, materi bahan ajar disusun secara
hirarkis. Menurut Bloom, hirarkhis yang dimaksud meliputi yaitu ranah kognitif,
afektif dan psikomotor. Ranah kognitif merujuk apa yang dipikirkan seseorang
(Bloom, 1957), ranah afektif merujuk apa yang dirasakan seseorang (Krathwohl,
1964), dan ranah psikomotor merujuk apa yang dilakukan seseorang (Simpson dkk,
1972). Implikasinya (kognitif, afektif dan psikomotor) dalam bentuk penguasaan
pengetahuan, sikap dan prilaku seseorang terhadap suatu pengetahuan yang
berintraksi antara stimulus dan respons yang ada dalam struktur kognitifnya. Kedua, lingkungan belajar siswa dimanipulasi sedemikian rupa
sehingga mendorong siswa belajar. Saudara mahasiswa, bila kita perhatikan atau
kita introspeksi sejenak apa yang pernah kita alami saat belajar atau sesudah
selesai belajar, ada semacam perubahan yang kita rasakan pada diri kita, yaitu:
bertambahnya pengetahuan yang mendorong terjadinya perubahan sikap, dan pada
akhirnya terjadi perubahan-perubahan prilaku atau gerakan-gerakan prilaku
sesuai misi pengetahuan yang kita terima atau yang kita pelajari itu. Agar
lebih terarahnya perubahan-perubahan tersebut, maka dalam pembelajaran IPA SD
perlu perumusan kompetensi-kompetensi atau tujuan-tujuan pembelajaran yang
diaharapkan secara jelas dan konsekwen dalam bentuk Tujuan Pembelajaran.
Prinsip-prinsip
belajar menurut teori behaviorisme adalah (1) proses belajar dapat terjadi
dengan baik apabila siswa ikut terlibat secara aktif di dalamnya; (2) materi
pelajaran diberikan dalam bentuk unit0unit kecil dan diatur sedemikian rupa
sehingga hanya perlu memberikan suatu proses tertentu saja; (3) tiap-tiap
respon perlu diber umpan balik secara langsung sehingga siswa dapat dengan
segera mengetahui apakah respon yang diberikan betul ataukah tidak; (4) perlu
diberikan penguatan setiap kali siswa memberikan respon apakah bersifat positif
ataukah negatif. Penguatan yang bersifat positif akan lebih baik karena
memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa, sehingga ia ingin mengulang
kembali respon yang telah diberikan (Sagala, S. 2009).
2. Developmental
Pada psikologi kognitif developmental ini menurut Piaget (1964) ada empat tahap utama perkembangan intelektual
berdasarkan struktur kognitif, yaitu: tahap sensori-motoris (dari 0- 18 bulan), tahap pra-opersional (18 bulan – 7/8 tahun), tahap operasional
konkrit (7/8- 11/12 tahun), dan tahap operasi formal (11/12 sampai dengan
seterusnya).
Tahap
sensori-motoris merupakan tahap perverbal. Objek hanya ‘ada’ jika berada pada
jangkauan perceptual (yang terlihat). Benda-benda yang tidak terlihat olehnya
hanya ditetapkan secara acak (meraba-raba, tiba-tiba menyentuh sesuatu, lalu
di arahkan matanya ke benda itu). Pengetahuan praktis yang dibangunnya
dimasukkan ke dalam substrukur dari pengetahuan yang dibangun berikutnya.
Tahap
pra-operasional menandai awal dari bahasa yang terorgasisasi, permulaan dari
fungsi-fungsil simbolik, dan hasilnya adalah ditandai dengan terjadinya
perkembangan pikiran seseorang individu. Saat itu kita masih berorientasi
perceptual, belum berpikir logis, sehingga tidak dapat mejelaskan dalam bentuk
implikasi. Saat itu pula , kita berorintasi pada tujuan yang sederhana. Kita
lebih banyak mencoba-coba secara acak dan berhasil. Kita belum memiliki
koordinasi antar variable. Karena
itu, kita kesulitan memahami bahwa setiap objek memiliki sifat-sifat yang khas.
Konsep konservasi kita belum berkembang, maka kita sulit memahami susuatu yang
dapat terulang kembali.
Tahap
operasional konkrit ditandai dengan cara berpikir yang cenderung konkrit/nyata.
Kita mulai mampu berpikir logis yang elementer, misalnya mengelompokkan,
merangkaikan sederetan objek, dan menghubungkan satu dengan yang lain. Konsep
reversibilitas mulai berkembang. Pada mulanya bilangan, kemudian panjang, luas,
dan volume. Kita masih berpikir tahap demi tahap tetapi belum dihubungkan satu
dengan yang lain.
Tahap
proposisional atau tahap operasi formal ditandai dengan dimulainya
berpikir deduktif-hipotetis. Kita mulai berpikir sesuatu berdasarkan pada
kemungkinan logis, system kombinatoris, dan unifikasi operasi ke dalam suatu struktur
yang menggambarkan keseluruhan. Kita telah mampu berpikir seperti cara
berpikirnya orang dewasa/ilmuwan. Bagi Anda, tahap yang penting diketahui
secara mendalam adalah tahap pra-operasional dan tahap operasional konkrit,
karena siswa Anda kelak berada pada tahap ini. Anda dipersilahkan membaca
sumber-sumber yang berkaitan dengan teori perkembangan intelektual anak.
Implementasi tradisi developmental ini adalah penyajian
pengetahuan kepada siwa disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual
mereka. Dikatakan bahwa usaha untuk menyajikan bahan ajar dengan cara yang
sesuai dengan tahap inteletual yang lebih tinggi hanya membuang-buang waktu
saja. Kita harus taat pada tahapan-tahapan itu. Walau demikian, sesungguhya,
banyak juga yang melihat kekurangannya. Misalnya, pengajaran dalam tradisi
developmental sangat ‘age-related orientation’. Penyajian sangat
spesifik bagi siswa dengan usia tertentu. Karena itu kurang fleksibel (Osborne
dan Witrock, 1985, Case 1985, Smith, 1987).
Kesulitan
menerapkan tradisi developmental ini secara penuh dalam pembelajaran disebabkan
karena Piaget tidak membedakan antara pengetahuan (knowledge) dan orang yang
mencari pengetahuan (knower) (Boyle, 1980). Para educator menganggap bahwa
belajar dapat dipahami melalui perkembangan intelektual pebelajar. Selain itu,
Teori Piaget ini juga melupakan perbedaan individual siswa (Driver, 1982).
Konsep perkembangan kognitif juga dikemukakan oleh
Jerome Bruner, bahwa belajar adalah adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah
laku individu, maka tahap perkembangan kognitif siswa sebagai individu terjadi
melalui tiga tahap, yaitu (Supriono, Agus. 2009): (1) tahap enaktif yaitu siswa
melakukan aktivitas dalam upaya memahami lingkungannya, memahami dunia
sekitarnya dengan pengetahuan motorik; (2) tahap ikonik yaitu siswa memahami
objek-objek atau dunianya melalui gambar atau visualisasi verbal, memahami
dunia sekitarnya dengan bentuk perumpamaan dan perbandingan; (3) tahap simbolik
yaitu siswa telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang
sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika, memahami dunia
sekitarnya melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika dan sebagainya.
Lebih
lanjut menurut Bruner perkembangan kognitif siswa dapat dikembangkan melalui
penyusunan materi pelajaran dan mempresentasikannya sesuai dengan tahap
perkembangan siswa tersebut. Penyusunan materi pelajaran dan penyajiannya dapat
dimulai dari materi secara umum kemudian secara berkala ke arah yang lebih
rinci. Perkembangan kognitif menurut Bruner merupakan proses discovery
learning (belajar penemuan). Dalam konteks pembelajaran IPA di SD proses
penemuan merupakan keterampilan proses sains, melalui observasi, pengukuran,
identifikasi, klasifikasi, hipotesis, analisis dan komunikasi melalui fenomena
yang terjadi di lingkungan siswa.
David
Ausubel juga memberikan statemen terhadap proses belajar yaitu belajar sebagai reception
learning. Salah satu konsep penting dalam reception learning adalah advance
organizer sebagai kerangka konseptual tentang isi pelajaran yang akan
dipelajari siswa dan yang menghubungkan antara skemata yang sudah dimiliki
dengan informasi baru. Dalam penyajiannya advance organizer berupa peta
konsep, seperti peta konsep tentang bunyi, energi, gaya, mahluk hidup dan
proses kehidupan, bumi dan alam semesta.
3. Konstruktivis
Belajar dapat
dipandang sebagai proses konstruktif dimana siswa membangun dari representasi
pengetahuan internal (internal
representation of knowledge) dan interpetasi pengalaman personal (personal interpretation of experience)
(Duffy, T.M., 1992). Menurut Piaget pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
melalui pengalaman-pengalamannya dalam hubungannya dengan skema-skema pada
struktur kognitifnya yang telah ada sebelumnya (prior knowledge). Oleh sebab itu kemampuan berpikir siswa akan
berkembang jika siswa melakukan pengamatan sendiri secara langsung, dengan
demikian siswa memiliki pengalaman konkrit sebagai suatu fakta. Fakta ini
selanjutnya akan menjadi konsep yang dimiliki siswa, melalui proses
equilibrasi. Sebagaimana yang dikatakan Piaget “kamu tidak dapat membelajarkan konsep secara verbal, kamu harus
menggunakan metode yang didasari aktivitas” (Weikart, D.P., 1977). Dalam
kaitannya dengan penguasaan konsep IPA, maka dipandang perlu untuk menegaskan
tentang penggunaan metode pembelajaran yang tepat, metode pembelajaran tersebut
bukanlah yang berpusat pada guru tetapi yang berpusat pada siswa.
Siswa dalam
kehidupannya sehari-hari pasti banyak pengalaman yang mereka peroleh dari
lingkungannya yang sebagian besar berada di luar sekolah. Jadi siswa dalam
kelas bukan dengan pikiran yang kosong. Guru seharusnya memperhatikan
pengetahuan dan bagaimana siswa memperoleh pengetahuannya tersebut, sehingga
dapat menunjang proses perolehan pengetahuan lebih lanjut di kelas.
Piaget memandang
bahwa proses berpikir sebagai tahapan aktivitas dari fungsi intelektual dari
konkrit menuju abstrak. Pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan
mental baru yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan mental bukan secara
kuantitatif tetapi secara kualitatif. Piaget menyarankan agar siswabelajar
secara individu dan dalam kelompok-kelompok kecil. Sebab melalui kelompok siswa
dihadapkan pada pandangan siswa lain, pengalaman ini penting bagi siswa untuk
secara berangsur-angsur melepaskan ikatan egosentrisnya.
Ada empat faktor yang menunjang perkembangan
mental anak (Amin, M, 1987) yaitu : 1. Maturation : proses perubahan fisiologis
dan anatomis, proses pertumbuhan tubuh, otak dan sistem syaraf, 2. Physical
Experience : interaksi dengan lingkungan fisik, manipulasi obyek-obyek di
sekitarnya, 3. Social Experience : interaksi dengan teman/orang lain,
menghilangkan sifat egosentris, 4. Equilibration : proses dimana anak merespons
stimulus secara mental dan terdiri dari assimilation
(menerima informasi dari lingkungannya dan menghubungkannya ke dalam bagan
konsep atau struktur, dan accomodation (memodifikasi
bagan-bagan konsep atau struktur untuk menerima informasi baru).
Rosalin
Driver (1982) menyatakan bahwa kontribusi pendidikan IPA, menurut kacamata
konstruktivis, adalah pengembangan serangkaian makna personal untuk memahami
kejadian sehari-hari dan pengalamannya. Dasar dari teori
konstruktivisme berfokus pada perolehan pengetahuan (acquisition of
knowledge) (Schnell, 1986). Belajar dipandang sebagai suatu proses aktif
(Millar dan Driver, 1987) dalam mengkonstruksi makna melalui interaksi dengan
lingkungan sekitar (Driver dan Bell, 1986; Clough dan Driver, 1986) dengan cara
menghubungkan pengetahuan yang sedang dipelajari dengan pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya (Driver dan Bell, 1986). Driver dan Bell (1986) menyatakan
bahwa hasil belajar tergantung pada lingkungan belajar dan pengetahuan yang
telah dimiliki siswa. Pengalaman siswa dan bahasa yang digunakan menentukan
pola dari makna yang dikonstruksi siswa. Karena itu, siswa bertanggung jawab
dalam proses belajar.
Ada sejumlah
model proses belajar dalam tradisi konstruktivis yang telah diusulkan. Pines
dan West (1986) menunjuk tiga model belajar: conceptual development, conceptual
resolution, dan conceptual exchange. Conceptual development terjadi
apabila pengetahuan yang dimiliki siswa perlu diintegrasikan pada pengetahuan
formal yang sedang dipelajari. Jika dalam proses integrasi itu perlu perubahan
kecil pada pengetahuan yang telah dimiliki siswa, maka proses ini disebut conceptual
resolution. Dan, jika perubahan yang dilakukan cukup besar, maka proses
belajar semacam itu disebut conceptual exchange. Ketiga model tersebut
sejalan dengan model generatif sebagaimana yang diusulkan oleh Osborne dan
Witrock (1985), yaitu bahwa pengetahuan yang dimiliki siswa memilih input
sensori tertentu dari fenomena yang sedang dipelajari dengan cara memfokuskan
perhatiannya pada input ini. Model generatif ini secara terus menerus menguji
pengetahuan yang baru sebelum diintergrasikan dengan pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya agar terbentuknya suatu kebermaknaan dalam belajar.
Dari empat
tradisi psikologi kognitif yang mempengaruhi pembelajaran IPA, tradisi
behaviouris, developmental, information processing, dan konstruktivi hanya
tradisi behaviouris dan konstruktivis yang secara eksplisit memberikan
pengertian tentang belajar. Menurut tradisi behaviouris belajar didefisikan
sebagai perubaha tingkah laku yang relatif permanen. Sedangkan dalam tradisi
konstruktivis, belajar didefinisikan sebagai proses konstruksi pengetahuan.
Tradisi developmental menyarankan agar pengajaran disesuaikan dengan tingkat
perkembangan intelektual siswa (untuk usia SD adalah praoperasional dan
operasional konkrit). Tradisi information processing menjelaskan
bagaimana otak bekerja selama belajar, yaitu mirip kerja computer: ada input,
proses, dan output. Karena itu hasil belajar bisa deprogramkan.
4. Information
processing
Information
processing dapat dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut dari
teori-teori perkembangan kognitif. Information processing
merujuk pada bagaimana kita mengolah stimuli yang datang dari sekitar kita,
cara mengolah data, cara mengendus masalah, cara membangun konsep, cara
menyelesaikan masalah, dan cara menggunakan symbol-simbol baik verbal mapun
nonverbal (Weil dan Joyce, 1978). Horton dan Turnage (1976) menyatakan bahwa
pendekatan information processing dalam pembelajaran didasarkan pada analogi
antara otak manusia dan komputer. Otak dan komputer sama-sama menerima masukan
dari luar (input), beroperasi dengan bebagai cara (proses), dan mengahsilkan
luaran (output). Maka, information processing dapat dipakai sebagai suatu
metode untuk menganalisis dan mensintesiskan informasi secara berurutan, tahap
demi tahap (Parrill-Bunstein, 1981).
Penelitian dalam
bidang ini meliputi pembuatan program untuk menstimuli suatu tingkah laku
konseptual manusia dalam menyelesaikan masalah, menyajikan masalah ini kepada
siswa, dan membandingkan kinerjanya dengan kinerja komputer. Kinerja komputer
digunakan untuk menjelaskan kinerja otak manusia (Case 1974). Kemajuan teknologi komputer yang selain menjadi sangat
‘canggih’ dan semakin ‘murah’ mendorong tradisi information processing ini
masuk ke dunia ‘pembelajaran dengan cepat. Salah satu di antaranya adalah
program yang Anda ikuti ini. Di masa mendatang , kiranya information
processing akan menjadi tradisi tesendiri yang cukup berpengaruh pada
pembelajaran, khususnya pembelajaran IPA.
SUB BAB 2
|
PEMBELAJARAN IPA SD
Saudara
mahasiswa, selanjutnya kita akan membahas permasalahan yang berhubungan dengan pembelajaran IPA SD. Sebelum kita membahas masalah pembelajaran IPA, kita mengajak Anda menelusuri psikologi kognitif seperti yang sudah diungkapkan pada bagian terdahulu (behaviourisme, developmental,
information proccessing dan kontruktivisme). Dilihat dari dimensi
kurikulumnya keempat psikologi kognitif itu dapat
digolongkan ke dalam dua paradigma, yaitu paradigma absolutisme dan paradigma
konstruktivisme (Leo Sutrisno, 2001).
Dalam paradigma
absolutisme, materi bahan ajar disusun ’dari atas’, oleh para ahli, baik ahli
IPA maupun ahli pendidikan IPA. Karena disusun dari atas, materi ini tidak
dapat dipertanyakan. Seperti itulah yang harus dipelajari. Pedagoginya
berbentuk alih pengetahuan. Para guru berfungsi sebagai agen alih pengetahuan.
Dengan menganut teori tabula rasa, siswa dianggap kertas putih yang siap
ditulisi oleh para guru apapun isi dan bentuknya.
Di sinilah timbul istilah “nyekoki” sebagaimana bayi dipaksakan untuk makan,
sehingga guru sebagai transfer pengetahuan. Evaluasi hasil
belajar dalam paradigma ini adalah reproduksi pengetahuan, seberapa banyak
siswa menguasai pengetahuan yang telah diberikan. Pembelajaran dengan paradigma
absolutisme adalah bagaikan ’mengisi botol kosong’.
Dalam paradigma konstruktivisme,
materi tidak disusun dari atas tetapi ditetapkan bersama-sama antara siswa dan
guru dengan fokus sesuai dengan kebutuhan siswa. Pedagoginya berupa proses
fasilitasi agar konstruksi pengetahuan yang dilakukan siswa berlangsung. Guru
berfungsi sebagai fasilitator. Membantu siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya dengan cara mereduksi konflik-konflik konseptual sesedikit
mungkin. Evaluasi hasil belajar berupa asesmen unjuk kerja. Dengan demikian
hasil belajar tidak sekedar pemberian tes tetapi kumpulan hasil kerja yang
telah siswa lakukan yang disusun dalam suatu portopolio. Pembelajaran dengan
paradigma konstruktivisme adalah ’pemberdayaan.’.
A.
Belajar IPA
Mempelajari
kekhasan dari kedua paradigma di atas, menurut Anda, tradisi behaviourisme dapat digolongkan dalam paradigma yang mana? Tentu,
dengan ’mudah’ Anda dapat menentukan dalam paradigma absolutisme. Bagaimana
halnya dengan tradisi developmental dan tradisi information proccessing? Kedua
tradisi ini tidak memberikan penjelasan secara eksplisit tentang belajar.
Tradisi developmental memberi saran kepada para edukator agar memperhatikan
perkembangan intelektual siswa dalam setiap kegiatan pembelajaran. Sedangkan
tradisi information proccessing hanya memberitahukan bahwa kerja otak manusia
dalam mengolah informasi mirip dengan kerja sebuah komputer. Dengan demikian,
kedua tradisi ini tidak dapat digolongkan pada paradigma yang mana.. Marilah
kita coba mencermati tentang belajar IPA dalam kedua paradigma ini.
a. Belajar Dalam Paradigma Absolutisme
Dalam paradigma
absolutisme, kurikulum pendidikan IPA secara penuh dibuat secara sentralistik,
di tingkat pusat. Jika membuka-buka kembali kurikulum 1975 dan 1994, misalnya,
akan Anda temukan rumusan-rumusan: tujuan kurikuler, tujuan instruksional, pokok bahasan, sub pokok bahasan, kelas,
semester, sumber bahan, dan bahan ajar. Anda, sebagai guru tinggal menetapkan
tujuan khusus dan membuat rencana kegiatan selama di depan kelas serta mengajarkannya.Sumber
bahan pun telah disiapkan dengan nama buku paket.
Siswa yang
belajar datang ke sekolah, duduk, menyimak, mendengarkan, mencatat, dan
mengulang kembali di rumah serta menghapalkannya untuk menghadapi tes hasil
belajar atau ulangan. Sifat dari tes hasil belajar, ulangan, ujian bersifat
reproduksi pengetahuan. Seberapa luas dan dalam bahan/materi yang telah
dibicarkan di kelas dikuasai siswa. Sebagian dari Anda, tentu telah mengalami
pembelajaran yang seperti ini baik di tingkat sekolah dasar, sekolah lanjutan
atau bahkan di tingkat perguruan tinggi. Cara belajar seperti ini hampir tidak
memberi ruang bagi siswa untuk mengembangkan pendapatnya sendiri. Dengan
demikian, siswa terkesan lebih pasif. Semua kegiatan terpusat pada guru. Siswa
akan ’menirukan’ penjelasan yang diberikan guru di depan kelas. Hanya ada satu
penjelasan yang dianggap ’benar’ yaitu penjelasan yang diberikan guru. Dalam
evaluasi hasil belajar juga hanya ada satu jawaban yang dinyatakan benar yaitu
jawaban yang sesuai dengan penjelasan guru. Karena itu, siswa akan selalu
berusaha untuk ’menyesuaikan’ pendapatnya dengan pendapat gurunya, walaupun
sesungguhnya tidak sepakat. Dengan cara seperti itulah siswa dapat memperoleh
nilai tinggi. Sebaliknya, bisa juga terjadi jika bagi siswa yang bersikeras
untuk mengajukan konstruksinya sendiri yang berbeda dengan apa yang telah
disampaikan guru, walaupun argumentasinya bagus tetap akan memperoleh nilai
rendah.
Bagi Anda yang memegang paradigma
absolutisme, dalam mempelajari mata kuliah ini, akan berusaha menghafal seluruh
penjelasan dari buku ini dengan sekuat tenaga,dan dengan membabi buta. Anda
beranggapan, hanya dengan cara begitu nilai tinggi dapat diraih. Anda tidak
perlu pusing mencari penjelasan dari buku lain karena hal itu hanya membuang-buang
waktu saja. Dalam paradigma absolutisme, belajar didefinisikan sebagai
perubahan tingkah laku yang mencerminkan dari keadaan belum tahu ke keadaan
sudah tahu. Siswa dianggap sebagai botol kosong, artinya dianggap tidak
mempunyai kemampuan, hal ini terjadi dikarenakan sistem pendidikan yang berlaku
bersifat sentralisasi, terlihat dari kurikulum yang digunakan ditentukan
sepenuhnya dari pusat.
Sekalipun demikian belajar IPA di
SD dengan paradigma absolutisme masih terjadi di sekolah-sekolah, mereka menghafal
rumus bahkan rumus-rumus mereka salin dikertas kecil dan dilipat rapih untuk
dapat menjadi “kerpekan” atau dengan alasan ke kamar kecil mereka melihat
kembali rumus-rumus yang ada di kertas itu. Jadi paradigma absolutisme ini
menjadikan siswa melakukan tindakan tidak terpuji yaitu “ngerpek’ atau
“nyontek” dari temannya, karena memungkinkan jawaban yang sama seperti yang ada
pada buku atau catatan.
b. Belajar Dalam Paradigma Konstruktivisme
Dalam paradigma
absolutisme, siswa dianggap tidak memiliki pengetahuan apa pun ketika berada di
awal proses pembelajaran. Ibarat sebuah botol kosong. Sebaliknya, dalam
paradigma konstruktivisme, siswa diakui telah memiliki pengetahuan. Pengetahuan
yang dimiliki sebelum mengikuti proses kegiatan pembelajaran yang sesungguhnya
sering diberi label pengetahun awal siswa. Pengetahuan awal ini
diperolehnya dari sumber-sumber belajar yang tersedia di luar bangku sekolah
atau dari pembelajaran sebelumnya. Seperti juga Anda saat ini, Anda telah
memiliki pengetahuan pembelajaran IPA. Pengetahuan itu Anda peroleh dari
berbagai sumber, termasuk ketika Anda kuliah di program yang lain. Pendek kata,
Anda tidak berawal sebagai botol kosong. Anda telah memiliki konsepsi awal
tentang pembelajaran IPA.
Cara belajar
semacam ini oleh para ahli disebut juga belajar secara generatif. Mengingat
pengetahuan awal dan pengalaman setiap siswa sangat individual maka pengetahuan
yang baru dikonstruksi masing-masing siswa ada kemungkinan tidak sama satu
dengan yang lain. Anda dapat mempelajari, dari sumber-sumber lain tentang
pembelajaran IPA dalam tradisi konstruktivis. Proses belajar siswa sesungguhnya
mirip dengan yang dilakukan para ilmuwan IPA, yaitu melalui pengamatan dan
percobaan. Penelitian IPA adalah penelitian empiris. Siswa sekolah dasar juga belajar IPA melalui investigasi yang mereka
lakukan sendiri. Jika pengalaman seperti ini tidak memadai maka pemahamannya
juga tidap lengkap. Investigasi merupakan cara normal bagi siswa yang belajar.
Belajar pada paradigma
konstruktivis menempatkan siswa secara aktif melakukan konstruk terhadap
pengalaman baru sesuai dengan pengalaman awalnya. Seperti pada materi pelajaran “energi dan
perubahannya”, maka pengalaman awal siswa tentang energi itu dapat berupa kayu
bakar, gas LPG, batubara, dan minyak tanah. Ketika siswa menangkap penjelasan
guru bahwa energi fosil dapat berubah menjadi panas, maka siswa mempunyai
keterkaitan dengan pengalamannya sewaktu ibu mereka memasak air. Jika demikian
siswa telah melakukan asimilasi tetapi kalau tidak siswa melakukan adaptasi.
c.
Pembelajaran dalam paradigma
absolutisme
Saudara
mahasiswa, dalam paradigma absolutisme belajar didefinisikan sebagai proses
perubahan tingkah laku dari belum tahu ke sudah tahu, dari yang ’salah’ ke yang
’benar’. Tingkah laku yang ’benar’ dirumuskan dari ’atas’, dirumuskan oleh para
ahli. Untuk mencapai tingkah laku yang benar itu, kepada siswa diberikan
sejumlah bahan (IPA) yang harus dipelajari. Materi itu juga dipilih oleh para
ahli (pendidikan). Sebagai konsekuensi dari pemikiran ini, maka diperlukan
proses alih pengetahuan dari para ahli ke siswa. Proses alih pengetahuan
terjadi pada kegiatan pembelajaran. Guru berfungsi sebagai pelaksana alih
pengetahuan. Guru menjadi agen alih pengetahuan. Guru berfungsi sebagai
’pemutar keran’ yang menentukan seberapa banyak air yang dikucurkan. Siswa, sebagai
’ember’ penampung kucuran pengetahuan dari keran, menerima begitu saja semua
pengetahuan yang dikucurkan oleh gurunya.
Model
pembelajaran seperti ini
bersifat satu arah- dari guru ke siswa. Juga tidak perlu tejadi interaksi antar
siswa karena mereka tinggal menerima bahan ajar yang sama. Karena itu,
pengajaran ini juga bersifat indoktrinasi-memberitahu yang benar dan yang tidak
benar. Pedek kata, mengajar dalam paradigma absolutisme dapat diibaratkan
sebagai kegiatan ’mengisi botol kosong’. Cara seperti ini tidak
akan membuat siswa sekolah dasar menggemari IPA. IPA tidak bermakna bagi siswa.
Padahal, kurikulum 2006 ini megamanatkan bahwa Mata Pelajaran IPA di SD/MI
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1.
Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 2. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran
tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi dan masyarakat. 3. Mengembangkan keterampilan
proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan, 4. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam
memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam
Sekalipun
demikian pembelajaran IPA di SD dengan paradigma absolutisme masih terjadi di
sekolah-sekolah, kondisi ini menunjukkan bahwa peranan guru tidak dapat
ditinggalkan sebagaimana “digugu dan ditiru” sehingga masih menempatkan guru
sebagai sentral proses pembelajaran di kelas. Inspirasi tersebut beranjak dari “ing ngarso sung tulodo, ing madyo
mbangun karso, tut wuri handayani” . Kalau sudah “ing ngarso” ya tidak berhenti
di situ tetapi perlu “ing madyo” dan “tut wuri’.
d. Pembelajaran dalam paradigma konstruktivisme
Dalam paradigma konstruktivisme,
belajar dipahami sebagai proses aktif siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan
dengan cara membuat ’link’ antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan
pengetahuan yang sedang dipelajari melalui interaksi dengan yang lain.
Pengertian belajar seperti ini, paling tidak mengandung tiga hal. Pertama adalah
proses aktif untuk mengkonstruksi pengetahuan. Kedua adalah membuat
’link’ antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang sedang
dipelajari. Ketiga adalah interaksi dengan yang lain.
Mari kita lihat
situasi pada saat seorang anak sedang belajar main layang-layang dan bapaknya.
Apa yang mereka lakukan? Anak dan bapak berkolaborasi menaikkan layang-layang.
Bisa jadi, si anak akan berlari sambil menarik benang, dan si bapak memegangi
layang-layang tegak berdiri ke atas. Atau sebaliknya. Mereka juga melakukan
dialog agar dihasilkan keputusan bersama dan dapat dilaksanakan secara bersama.
Mungkin juga antara mereka juga ’bertengkar’, ’beteriak’ saling meminta agar
menyesuaikan diri/posisi terhadap yang lain. Tujuan akhir adalah si anak mampu
menaikkan layang-layang sendiri. Mereka berdua aktif, tentunya, berlarian di
lapangan. Si anak tentu secara terus menerus membuat ’link’ antara pengetahuan
yang diperoleh hari sebelumnya dengan kejadian yang saat itu dialami.
Pengalaman hari-hari sebelumnya dipadukan dengan pengetahuan yang dihadapi saat
itu. Mereka tentu juga saling berinteraksi satu dengan yang lain. Demikian
juga, proses mengajar dalam paradigma konstruktivisme, siswa, seperti anak yang
sedang belajar menaikkan layang-layang, aktif mencari pengetahuan (IPA)
didampingi guru sebagai fasilitator yang juga aktif. Mereka secara bersama-sama
terlibat aktif dalam dialog mencari ’kebenaran’ IPA. Mengajar berarti
memberdayakan, mengajar untuk belajar.
Sehubungan
mengajar dalam paradigma konstruktivisme, ada 5 prinsip yang ditawarkan oleh
Ishii (2003) ‘five guiding principles of constructivism’ yang
dapat diterapkan di kelas, yaitu:
1. Posing
problems of emerging relevance to students Dengan focus pada minat siswa
dan pengetahuan awal sebagai titik awal, siswa menjadi mudah terlibat dan
termotivasi untuk belajar. Pertanyaan-pertanyan yang
relevan diberikan kepada siswa mendorong mereka berpikir dan mempertanyakan apa
yang dipikirkan itu.
2. Structuring
learning around primary concepts. Ini merujuk pada perancangan pelajaran di sekeliling ide atau
konsep utama, daripada menyajikan berbagai topic yang terpisah-pisah satu
dengan yang lain. Menggunakan konsep yang lebar memungkinkn siswa terlibat dari
berbagai perspektif, dan kemampuannya.
3. Seeking
and valuing students' points of view. Prinsip ini memberi kesempatan mengakses penalaran siswa dan
proses berpikirnya. Dengan cara itu, guru dapat menyususp
lebih dalam agar belajar menjadi lebih berarti
bagi siswa. Tentu saja Anda sebagai guru harus siap
menjadi pendengar yang baik lebih dahulu.
4.
Adapting curriculum to address students' suppositions. Adapatasi kurikulum untuk menghargai gagasan siswa merupakan
fungsi dari kebutuhan kognitif pada tugas-tugas spesifik dan hakikat pertanyaan
siswa yang terlibat pada tugas tersebut.
5. Assessing
student learning in the context of teaching dalam penbelajaran tradisional konteks belajar sering tidak berhubungan dengan
asesmen. Asesmen yang autentik mestinya dapat dicapai melalui pengajaran,
interaksi antara guru dan siswa siswa dengan siswa, serta pengamatan tentang
tugas-tugas yang dilaksanakan siswa.
e. Guru sebagai
fasilitator
Memperhatikan
kelima prinsip itu maka sesungguhnya guru lebih berposisi sebagai fisilitator
daripada sebagai nara sumber. Apa arti guru sebagai fasilitator? Apa beda
antara nara sumber dan fasilitator? Pada umumnya yang Anda lakukan selama ini
di kelas lebih mirip sebagai nara sumber ketimbang sebagai
fasilitator. Mengapa?!. Anda memposisikan diri sebagai seorang yang lebih tahu
dibandingkan para siswa di kelas itu. Anda bertugas memberikan pemahaman
tentang konsep-konsep, prinsip-pinsip dan teori-teori IPA kepada siswa. Anda
juga menempatkan sebagai seorang pemimpin di kelas itu. Fungsi semacam ini
adalah seorang nara sumber.
Apa yang
dilakukan seorang fasilitator? Jika Anda memposisikan diri sebagai fasilitator
maka Anda akan berusaha agar semua siswa berpartisipasi sehingga tujuan belajar
yang telah ditetapkan tercapai secara optimal. Anda juga akan lebih banyak
menggali siswa untuk melakukan eksplorasi pengetahuan dan pengalaman baru.
B.
Prinsip-prinsip Pembelajaran IPA SD
Dalam
salah satu kisah kuno India, diceritakan enam orang buta yang menggambarkan
seekor gajah. Orang pertama mendekati gajah dari samping. Ia mendapati punggung
gajah. Ia katakan gajah itu datar, kokoh seperti dinding. Orang kedua mendekati
gajah dari depan dan terpeganglah belalai. Ia mengatakan gajah seperti pipa
plastik yang lentur, bisa digulung. Orang ketiga mendekati gajah dari samping,
kebetulan agak pendek, terpeganglah kakinya. Ia bilang gajah itu mirip batang
pohon kelapa, bulat, tegak dan panjang. Orang keempat agak tinggi, ia bernasib
baik dapat memegangi telinga. Ia menyebutkan gajah itu seperti kipas raksasa.
Orang kelima, mendekati dari belakang dan yang terpegang ekor. Ia bilang gajah
itu mirip sikat botol. Dan orang keenam mendekati gajah dari depan, gading yang
tertegang. Ia menyatakan gajah itu mirip tombak. Mereka bertengkar dan
berteriak saling mempertahankan temuannya. Anda, orang yang tidak buta hanya
tersenyum karena Anda tahu bahwa masing-masing hanya ‘tahu’ sebagian dari
seekor gajah yang utuh. Sesungguhnya, orang buta itu kita, Saya dan Anda. Kita
meraba-raba tentang dunia di sekitar kita. Hasil ‘rabaan’ itu kita nyatakan
sebagai pengetahuan yang telah lengkap, yang benar. Sesungguhnya, perbedaan
pendapat itu disebabkan oleh perbedaan pengalaman. Karena itu, kita perlu
melihat yang lebih luas dan lebih rinci secara sistematis dan metodis.
Dari cerpen di atas,
dapat digarisbawahi, bahwa pendapat enam
orang buta tentang gajah, memiliki
persepsi yang berbeda, ”mengapa?”, karena adanya pengalaman yang berbeda
tentang ”gajah”, makanya supaya ada keseragaman persepsi tentang gajah itu,
perlu ada kriteria-kriteri tersendiri
yang disebut dengan prinsip, demikian juga dalam pembelajaran, di
samping bisa membuat siswa senang, aktif, dan kreatif dalam belajar, perlu prinsip-prinsip pembelajaran yang harus
dikembangkan dalam pembelajaran.
Berikut disajikan lima prinsip utama
pembelajaran IPA tentang kebenaran dalam pembelajaran IPA yang dijadikan anutan
untuk melaksanakan pembelajaran IPA, yaitu:
Prinsip 1: Pemahaman
kita tentang dunia di sekitar kita di mulai melalui
pengalaman baik secara
inderawi maupun non inderawi.
Prinsip 2: Pengetahuan yang diperoleh ini tidak pernah
terlihat secara langsung,
karena itu perlu diungkap
selama proses pembelajaran. Pengetahuan
siswa yang diperoleh dari
pengalaman itu perlu diungkap di setiap
awal pembelajaran.
Prinsip
3: Pengetahuan pengalaman mereka ini
pada umumnya kurang
konsisten dengan pengetahuan
para ilmuwan, pengetahuan yang Anda
miliki. Pengetahuan yang demikian Anda sebut
miskonsepsi. Anda
perlu merancang kegiatan
yang dapat membetulkan miskonsepsi ini
selama pembelajaran.
Prinsip 4: Dalam
setiap pengetahuan mengandung fakta, data, konsep, lambang
dan relasi dengan konsep yang lain. Tugas Anda sebagai guru IPA
adalah mengajak
siswa untuk mengelompokkan pengetahuan yang
sedang dipelajari itu ke
dalam fakta, data, konsep, symbol, dan
hubungan dengan konsep yang
lain.
Prinsip 5: IPA terdiri atas produk, proses, dan
prosedur. Karena itu, Anda
perlu mengenalkan ketiga
aspek ini walaupun hingga kini masih
banyak guru yang lebih senang
menekankan pada produk IPA saja.
Namun, perlu diingat bahwa
perkembangan IPA sangat pesat. Kita
tidak mampu mengikuti secara
terus. Selanjutnya, jika Anda akan
mengembangkan IPA sebagai
prosedur, Anda memasuki bidang yang
disebut prosedur ilmiah. Anda
masuk pada sebagai ruang dari metode
penelitian. Anda perlu
mengenalkan cara-cara mengumpulkan data,
cara menyajikan data, cara
mengolah data, serta cara-cara menarik
kesimpulan. Anda dapat
mempelajari topik ini pada mata kuliah
penelitian.
Prinsip pembelajaran IPA SD
yang lain berdasarkan pada penciptaan lingkungan yang kondusif sehingga guru
dan siswa ada secara bersama-sama dalam aktivitas yang saling membelajarkan,
yaitu:
- Prinsip Motivasi : motivasi adalah daya dorong seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan. Motivasi ada yang berasal dari dalam atau intrinsik dan ada yang timbul akibat rangsangan dari luar atau ekstrinsik. Motivasi intrinsik akan mendorong rasa ingin tahu, keinginan mencoba, mandiri dan ingin maju. Motivasi ini merupakan dasar dari aktivitas guru dan siswa, aktivitas ini perlu ditumbuhkan dan diarahkan ke motivasi intrinsik.
- Prinsip Latar : pada hakekatnya siswa telah memiliki pengetahuan awal. Oleh karena itu dalam pembelajaran guru perlu mengetahui pengetahuan, keterampilan dan pengalaman apa yang telah dimiliki siswa sehingga kegiatan belajar mengajar tidak berawal dari suatu kekosongan. Guru seharusnya memandang latar belakang siswa yang sudah memiliki seperangkat pengetahuan dan pengalaman awal yang dapat menjadi pijakan kognitif terutama pada awal membuka pembelajaran yaitu dalam sesi apersepsi.
- Prinsip Menemukan : pada dasarnya siswa memiliki rasa ingin tahu yang besar sehingga potensial untuk mencari guna menemukan sesuatu. Oleh karena itu bila diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi tersebut siswa akan merasa senang atau tidak bosan. Pemberian kesempatan terletak pada metode yang dipakai guru yaitu metode inquiry dan discovery terhadap konsep yang akan dipelajari dan sifat konsep tersebut setidaknya mempunyai tantangan.
- Prinsip Belajar Sambil Melakukan (learning by doing) : Pengalaman yang diperoleh melalui bekerja merupakan hasil belajar yang tidak mudah terlupakan. Oleh karena itu dalam proses belajar mengajar sebaiknya siswa diarahkan untuk melakukan kegiatan atau ”Learning by Doing”. Pembelajaran sambil melakukan menempatkan diri pada dunia siswa, dimana siswa aktivitas motoriknya masih sangat energik. Metode percobaan dan proyek sangat sesuai untuk mewujudkan prinsip ini.
- Prinsip Belajar sambil Bermain : bermain merupakan kegiatan yang dapat menimbulkan suasana gembira dan menyenangkan, sehingga akan dapat mendorong siswa untuk melibatkan diri dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu dalam setiap pembelajaran perlu diciptakan suasana yang menyenangkan lewat kegiatan bermain yang kreatif. Misalnya menggunakan game tournament dan puzzle.
- Prinsip Hubungan Sosial : dalam beberapa hal kegiatan belajar akan lebih berhasil jika dikerjakan secara berkelompok. Dari kegiatan kelompok siswa tahu kekurangan dan kelebihannya sehingga tumbuh kesadaran perlunya interaksi dan kerja sama dengan orang lain.
Dari prinsip-prinsip tersebut
di atas nampak bahwa semuanya dalam rangka menciptakan suasana pembelajaran
yang membuat siswa senang sehingga mereka akan terlibat aktif dalam
pembelajaran. Untuk menunjang penerapan prinsip-prinsip tersebut di atas guru
dalam mengelola pembelajaran perlu:
·
Menyajikan
kegiatan yang beragam sehingga tidak membuat siswa jenuh.
·
Menggunakan
sumber belajar yang bervariasi, disamping buku acuan.
·
Sesekali
dapat bekerjasama dengan masyarakat, kantor-kantor, bank, dll, sebagai sumber
informasi yang terkait dengan praktek kehidupan sehari-hari.
·
Memanfaatkan
lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, karena belajar akan bermakna apabila
berhubungan langsung pada permasalahan
lingkungan sekitar siswa.
·
Kreatif
menghadirkan alat bantu pembelajaran. Proses ini dapat memudahkan siswa untuk
memahami materi pembelajaran atau dapat menolong proses berpikir siswa dalam
membangun pengetahuannya.
·
Menciptakan
suasana kelas yang menarik, misalnya pajangan hasil karya siswa dan benda-benda
lain, peraga yang mendukung proses pembelajaran.
C.
Lingkungan Belajar Siswa
Setelah Anda mengenal
lima prinsip pembelajaran IPA dan siap mengimplementasikannya, ada beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan untuk membuat siswa belajar dengan baik, yaitu
lingkungan belajar non fisik. Lingkungan belajar non fisik adalah keadaan
psikologis di sekitar siswa yang diciptakan oleh guru secara sengaja untuk
mendorong siswa belajar.
Faktor-faktor lain
yang perlu mendapat pertimbangan guru dalam melaksanakan pembelajaran IPA di
sekolah, adalah sebagai berikut:
1. Lingkungan belajar yang mendukung
dan produktif.
Lingkungan belajar yang
mencerminkan prinsip ini adalah jika Anda sebagai guru membangun hubungan yang
positif dengan setiap siswa, Anda mengenal dan menghargai mereka satu per satu.
Anda juga membangun budaya saling menghargai dan saling menghormati antar siswa
baik secara individual maupun kelompok. Anda menggunakan berbagai strategi
untuk meningkatkan keyakinan kepada diri sendiri dan kesediaan mengambil resiko
dalam belajar. Dan, terakhir, Anda perlu menunjukkan rasa aman pada setiap
siswa secara individual melalui dukungan yang terstruktur, penghargaan pada usaha siswa serta yang dikerjakannya.
Salah satu yang paling mungkin Anda laksanakan adalah pada setiap proses
pembelajaran Anda mulai dengan mengapresiasi konsepsi siswa tentang
konsep-konsep IPA yang akan dipelajari pada pertemuan itu.
2. Lingkungan
belajar yang menumbuhkan peningkatan kemandirian, kolaboratif, dan motivasi diri.
Dalam lingkungan semacam ini Anda,
sebagai guru, mendorong dan mendukung agar
setiap siswa bertanggung jawab atas belajar mereka masing-masing.
Keberhasilan belajar di tangan para siswa sendiri, sebaiknya ditanamkan. Anda
juga membangun berbagai strategi yang dapat menumuhkan keterampilan kolaborasi
yang produktif.
3. Kebutuhan siswa, perspektif siswa, minat siswa
tercermin dalam program belajar.
Lingkungan belajar yang seperti ini tercermin
pada diri Anda, sebagai guru yang menggunakan berbagai strategi yang fleksibel
dan responsive terhadap tata nilai, kebutuhan dan minat siswa secara
individual. Anda juga mempergunakan berbagai strategi yang mendukung berbagai
cara berpikir dan cara belajar siswa. Dan, pembelajaran Anda didasarkan pada
pengalaman serta pengetahuan awal siswa.
4. Siswa
ditantang dan didukung agar mengembangkan kemampuan berpikir kritis.
Lingkungan belajar seperti ini dapat
terjadi jika Anda sebagai guru merancang dan mengimplementsikan suatu kegiatan
yang menumbuhkan belajar yang berkelanjutan, melalui penekanan hubungan antar
gagasan dan konsep, serta menumbuhkan ketrampilan investigasi dan penyelesaian
masalah.
5.
Asesmen merupakan bagian integral dari pembelajaran
Lingkungan belajar seperti ini
tercermin pada asesmen yang Anda buat yang dapat mencakup berbagai macam aspek
dari belajar. Misalnya, dalam bentuk porto folio. Anda juga mengembangkan asesmen
dengan kriteria yang jelas serta terbuka/transparan. Jangan lupa asesmen
seperti ini mesti mendorong siswa untuk melakukan refleksi dan evaluasi diri.
Sebaiknya, soal-soal tes baik formatif maupun sumatif bukan menggunakan bahasa
teks dari buku ajar.
6. Belajar menghubungkan siswa dengan masyarakat
dan praktik yang berada jauh di luar kelas.
Lingkungan seperti ini dapat
terwujud jika Anda sebagai guru mendukung siswa terlibat dengan pengetahuan
konteporer dan pengetahuan praktis di lapangan. Anda juga membuat rencana yang
dapat menciptakan hubungan antara siswa
dengan komunitas sekitarnya.
Lingkungan
belajar yang mengapresiasi kebutuhan dan minat siswa merupakan salah satu cirri
dari pembelajran IPA dalam tradisi konstruktivisme. Jika pembelajaran yang Anda
lakukan telah bernuansa konstruktivisme maka tentu lingkungan belajar telah
dikembangkan.
E. Karakteristik Anak usia
SD
1. Usia anak SD berkisar antara 7 tahun
sampai dengan 11 tahun. Menurut Piaget perkembangan anak usia SD tersebut
termasuk dalam katagori operasional konkrit.
2. Pada usia operasional konkrit dicirikan dengan sistem pemikiran yang
didasarkan pada aturan tertentu yang logis, hal tersebut dapat diterapkan dalam
memecahkan persoalan-persoalan konkrit yang dihadapi.
3. Anak operasional konkrit sangat membutuhkan benda-benda konkrit untuk
menolong pengembangan intelektualnya.
4. Anak SD sudah mampu memahami tertang penggabungan (penambahan
atau pengurangan), mampu mengurutkan, misalnya mengurutkan dari yang kecil sampai yang besar, yang
pendek sampai yang panjang,
5. Anak SD juga sudah mampu menggolongkan
atau mengklasifikasikan berdasarkan bentuk luarnya saja, misalkan menggolongkan
berdasarkan warna, bentuk persegi atau bulat, dan sebagainya.
6. Pada akhir operasional konkret mereka
dapat meahami tentang pembagian, mampu menganalisis dan melakukan sintesis
sederhana.
F. Standar Kompetensi Guru IPA SD
Standar
Kompetensi Guru IPA SD
|
|
Kompetensi
|
Indikator
|
1. Mengembangkan
keterampilan siswa dalam melakukan kerja ilmiah dalam berbagai kegiatan
penyidikan (investigation) dan dapat mengaplikasikan konteks sehari-hari.
|
1. Mengembangkan
aspek kerja ilmiah antara lain mengamati dan mengukur terutama:
a. Mengumpulkan fakta yang relevan dan
memadai
b. Mencari persamaan dan
perbedaan
c. Membandingkan
d. Mengukur
|
2. Merencanakan penelitian
atau percobaan, termasuk a. Menentukan alat/bahan yang akan digunakan
b. Menentukan variabel-variabel
c. Menentukan langkah kerja
d Menentukan bagaimana
mengolah data
|
|
3. Menerapkan konsep, termasuk :
a. Menghitung
b. Menerapkan konsep yang
telah dipelajari dalam situasibaru
|
|
4. Meramalkan, termasuk :
a. Menggunakan pola
untuk mengemukakan keadaan yang belum diamati
b. Menghubungkan pola
untuk mengemukakan keadaan yang belum diamati
c. Memperkirakan
peristiwa yang akan terjadi berdasarkan data yang ada
|
|
5. Menafsirkan, termasuk :
a. Menghubungkan
hasil pengamatan
b.
Menemukan pola
c.
Menyimpulkan
|
|
6.
Mengkomunikasikan, termasuk :
a. Mempresentasikan
data dan mengintreprestasikannya dalam bentuk grafik
b.
Membaca grafik atau diagram
c. Menjelaskan/mendiskusikan
hasil percobaan
d.
Menyimpulkan hasil percobaan
e. Menulis laporan
|
|
|
7. Bersikap dan nilai
ilmiah, antara lain :
a.
Rasa ingin tahu
b.
Ulet
c.
Jujur
d.
Terbuka
e.
Kritis
f.
Bekerjasama dengan orang lain
g.
Menghargai sejarah sains dan penemu
h.
Hemat energi
|
2. Mengembangkan
pemahaman siswa tentang proses fisika dalam konsep energi dan perubahannya,
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, serta manfaatnya untuk mempelajari
fisika pada jenjang yang lebih tinggi.
|
1.
Mengidentifikasi bentuk-bentuk energi yang digunakan
|
2. Menunjukkan
beberapa perubahan bentuk energi dalam
kehidupan
sehari-hari
|
|
3. Mengidentifikasi
sumber-sumber energi
|
|
4. Menjelaskan
konsep gaya dan pengaruhnya pada suatu benda.
|
|
5. Menyelidiki
sifat-sifat cahaya pada berbagai permukaan
|
|
6. Menunjukkan cara
energi berpindah dengan konduksi, konveksi dan radiasi
|
|
7. Menjelaskan dan
menyelidiki besar arus dan beda potensial pada rangkaian listrik sederhana
secara seri dan pararel
|
|
8. Menjelaskan
dan menyelidiki hubungan antara kelistrikan dan kemagnetan
|
|
9. Menunjukkan dan
menerapkan cara-cara penggunaan energi secara bijaksana sesuai dengan prinsip
korservasi energi
|
|
10. Menguraikan
keterkaitan konsep energi dan perubahannya pada jenjang pendidikan yang lebih
tinggi.
|
|
11. Menghubungkan
konsep fisika dengan pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari.
|
|
12. Merancang
percobaan sederhana untuk perubahan bentuk energi
|
|
13. Menjelaskan
sumber-sumber energi yang bias diperbaharui dan yang tidak bisa diperbaharui
|
|
14. Mengidentifikasi
penggunaan berbagai pesawat sederhana dalam kehidupan sehari-hari
|
|
15. Membedakan
energi dan usaha dan menerangkan konsep ini dalam beberapa peristiwa
sehari-hari
|
|
16. Memahami hukum
kekekalan energi
|
|
3. Mengembangkan
pemahaman siswa tentang proses biologi dalam konsep mahluk hidup dan
kehidupannya serta manfaatnya untuk mempelajari biologi pada jenjang yang
lebih tinggi.
|
1. Menjelaskan
perbedaan ciri-ciri mahluk hidup berdasarkan cirri-ciri yang tampak dan
bagaimana mahluk hidup memenuhi kebutuhannya.
|
2. Mengidentifikasi
factor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan.
|
|
3. Menjelaskan dan
menunjukkan adanya proses-proses kehidupan pada tumbuhan dan hewan (misalnya,
bergerak, pencernaan, pernafasan, reproduksi)
|
|
4. Menjelaskan
cara mahluk hidup beradaptasi dengan lingkungannya dengan berbagai cara, dan
adanya hubungan antara mahluk hidup dengan lingkungannya.
|
|
5. Membandingkan
dan menganalisis beberapa struktur organ bagian dalam mahluk hidup.
|
|
6. Mengaitkan
proses-proses kehidupan tumbuhan dan hewan dengan kehidupan sehari-hari
siswa.
|
|
7. Mengaitkan
proses-proses kehidupan tumbuhan dan hewan dengan kehidupan sehari-hari
siswa.
|
|
8. Menguraikan
keterkaitan konsep mahluk hidup dan proses kehidupan pada jenjang pendidikan
yang lebih tinggi.
|
|
4. Mengembangkan
pemahaman siswa tentang sifat dan struktur materi (zat), penerapannya dalam
kehidupan dan manfaatnya untuk memanfaatnya untuk mempelajari ilmu kimia pada
jenjang yang lebih tinggi.
|
1. Menjelaskan
sifat-sifat benda padat, cair dan gas serta mampu mendeskripsikan
perubahan-perubahan yang terjadi
|
2. Menyelidiki
perbedaan sifat-sifat benda padat, cair dan gas.
|
|
3. Menunjukkan
proses perubahan suatu benda (misalnya, wujud, warna, susunan) baik yang
dapat balik (reversible) maupun yang tidak (irreversible)
|
|
4. Menyelidiki
cara membedakan benda konduktor dan isolator
|
|
5. Menjelaskan
bahwa berbagai keadaan dapat mempengaruhi suatu benda (berkarat, busuk dan
sebagainya)
|
|
6. Menguraikan
keterkaitan konsep materi (zat) pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
|
|
7. Menghubungkan
konsep materi (zat) dengan pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari.
|
|
8. Mengklasifikasi
dan mengidentifikasi materi (dalam kehidupan sehari-hari) kedalam campuran
dan zat murni (unsure dan senyawa)
|
|
9. Merancang
percobaan sederhana untuk pemisahan/pemurnian campuran.
|
|
10. Menjelaskan
partikel-partikel penyusun materi (atom, molekul dan ion)
|
|
11. Membedakan
dan mengidentifikasi berbagai berubahan materi (dalam kehidupan sehari-hari)
ke dalam perubahan fisik dan perubahan kimia.
|
|
12. Memahamai hokum
kekekalan massa
|
|
5. Mengembangkan
pemahaman siswa tentang permukaan bumi dimana kita tinggal dalam ruang tata
surya dan manfaatnya untuk mempelajari IPBA pada jenjang yang lebih tinggi.
|
1. Menjelaskan
gambara fisik permukaan bumi dan factor-faktor yang menyebab kan perubahan
fisiknya dan pengaruh nya terhadap perubahan lingkungan hidup.
|
2. Mengidentifikasi
berbagai sumber daya alam yang dimanfaatkan oleh manusia dibumi.
|
|
3. Menyebutkan
cara-cara melestarikan sumber daya alam.
|
|
4. Menjelaskan
system tatasurya (matahari dan planet) menggunakan model.
|
|
5. Membuat
perkiraan ukuran (besar) antara planet dan jaraknya terhadap matahari.
|
|
6. Menguraikan
terjadinya gerhana bulan dan gerhana matahari
|
|
7. Menguraikan
pengaruh rotasi dan revolusi bumi pada kehidupan di bumi
|
|
8. Menguraikan
keterkaitan konsep struktur bumi dan tata surya pada jenjang pendidikan yang
lebih tinggi
|
|
9. Menghubungkan
konsep struktur bumi dan tata surya dengan pemecahan masalah yang dihadapi
dalam kehidupan sehari-hari.
|
|
6. Mengembangkan
pemahaman siswa tentang kepedulian terhadap perkembangan teknologi
|
1. Merancang
dan membuat suatu karya teknologi sederhana
|
2. Menguraikan
cara kerja produk teknologi dan konsep sains yang mendasarinya
|
|
3. Menggunakan (mengoperasikan)
suatu produk teknologi dengan benar
|
|
4. Melakukan
percobaan sederhana untuk menyelidiki hubungan antara gaya dan gerak.
|
|
5. Merancangan
dan membuat alat yang memanfaatkan energi angin, energi air (energi konetik
dan potensial) dan energi matahari.
|
|
6. Merancang
dan membuat alat sederhana yang menghasilkan bunyi yang berbeda-beda
|
|
7. Mengelola
laboratorium dan pengembangannya untuk kepentingan pembelajaran
|
1. Menjelaskan
fungsi manajemen dalam pengelolaan laboratorium
|
2.
Menjelaskan fungsi kegiatan laboratorium dalam pembelajaran bagi siswa.
|
|
3. Menjelaskan
teknik perawatan, penyimpanan dan pengadministrasian fasilitas laboratorium
dan bahan-bahan
|
|
4. Merancang
percobaan sederhana untuk kepentingan pembelajaran
|
|
5. Menjelaskan
jenis-jenis dan sumber-sumber bahaya yang dapat menyebabkan kecelakaan di
laboratorium serta cara penanganan nya.
|
|
8. Mengenal
dan memanfaatkan teknologi informasi baik untuk kepentingan tugas supervisi
maupun untuk kepentingan sekolah
|
1. Mengoperasikan
dan memanfaatkan teknologi komputer (hardware, software dan jaringan) untuk
kepentingan supervisi.
|
2. Menggunakan
dan memanfaatkan internet untuk kepentingan informasi dan inovasi pendidikan
|
7jan08http://www.duniaguru.com/doc/skg/skg.htm
LATIHAN
|
1.
Bagaimana peranan psikologi dalam pembelajaran IPA
SD?
2.
Bagaimana pembelajaran IPA SD yang sesuai dengan
karakteristik siswa SD? Berikan contohnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar