Sabtu, 23 November 2013

HAKEKAT Pembelajaran IPA SD ( BAB II )



BAB 2
 




HAKEKAT Pembelajaran IPA sd





            Pembelajaran IPA masih terpengaruh oleh paradigma pendidikan lama, yaitu pembelajaran berpusat pada guru, sementara siswa sebagai "gelas kosong" yang harus siap diisi sesuai kemampuan guru. Dalam proses pembelajaran, biasanya siswa duduk manis, mendengarkan dan mencatat konsep-konsep abstrak yang disampaikan guru, tanpa bisa mengkritisi apa arti konsep itu. Saat latihan, mereka mungkin bisa mengerjakan soal-soal yang setipe dengan yang dicontohkan guru. Namun, pada saat ada soal yang membutuhkan pemahaman konsep, mereka pun kesulitan dalam menyelesaikannya, sebab mereka bukan belajar memahami konsep, tetapi mencatat konsep.
            Implikasinya adalah terjadinya proses keterasingan siswa dari lingkungannya sendiri. Siswa tidak paham untuk apa sains itu dipelajari, karena konsep-konsep sains yang mereka pelajari tidak dapat mereka terapkan dalam kehidupan sehari harinya. Dengan demikian, mempelajari sains merupakan beban bagi mereka dan akhirnya siswa pun merasa sains merupakan momok, yang menakutkan dalam proses pembelajaran ataupun dalam evaluasinya. Padahal, semestinya proses pernbelajaran sains dimulai dari mengamati fenomena alam secara terstruktur, menganalisnya lalu menyimpulkan penyebab fenomena alam tersebut. Setelah itu, barulah memprediksikan fenomena alam yang akan terjadi berdasarkan simpulan tadi. Dengan kata lain, proses pembelajaran yang bersifat induktiflah yang ditekankan di sini, walaupun sifat deduktif tidak diabaikan.
            Proses pembelajaran yang menekankan pengamatan secara terstruktur itu tentunya memerlukan guru yang memahami bidang keilmuannya secara mendalam, luas, dan menjiwainya serta menguasai ilmu pedagogi secara memadai. Karena itu peningkatan kompetensi guru, baik dalam pemahaman akan mata ajarannya, juga dalam pedagoginya merupakan sesuatu yang mutlak.
Guru yang kompetensi tentu saja guru tersebut lebih memahami ilmunya dan membuat proses pembelajaran menjadi lebih menarik, bergairah, menyenangkan, dan menantang siswa.
            Hal yang lebih mendasar adalah menumbuhkan terjadinya pergeseran pola pikir guru dalam pembelajaran sains. Di lain pihak, siswa pun mesti didorong untuk menjadi pembelajar sains yang aktif, kreatif, dan kritis serta menyadari bahwa mempelajari sains merupakan ibadah dan kebutuhannya. Selain itu, bukankah dalam kurikulum yang diutamakan adalah kompetensi siswa dan bukan habis tidaknya materi yang dipelajari? Jika dalam waktu yang ditentukan, siswa dianggap telah kompeten, sementara materi belum habis pembelajaran pun dapat dilanjutkan kepada tema yang lain.
            Alasan lain berupa minimnya fasilitas laboratorium dapat disiasati dengan kreativitas guru dan siswa, karena sesungguhnya laboratorium pembelajaran sains adalah alam raya ini. Alam raya ini menyuguhkan beragam fenomena yang menarik dan terkadang penuh misteri. Terlebih, sebenarnya bukan lengkap tidaknya laboratorium, tetapi efektif tidaknya penggunaan fasilitas pembelajaran sains tersebut. Begitu juga dengan fasilitas baru dalam pembelajaran, yaitu jejaring, misalnya situs pendidikan dari Diknas, www.edukasi.net, harus dimanfaatkan secara maksimal.
            Pembelajaran sains yang menumbuhkan kreativitas guru dan siswa, secara berangsur-angsur arah pembelajaran sains akan bergeser kepada siswa sebagai subjek dan guru sebagai fasilitator, sehingga siswa terkondisikan menjadi kritis, kreatif, dan dapat mengeksplorasi alam sesuai dengan kemampuannya. Apabila ada perbedaan kecepatan hasil proses belajar, misalnya ada siswa yang cepat dalam belajar sementara yang lain lambat, maka siswa yang cepat itu haruslah didorong untuk menjadi tutor sebaya agar beban psikologis siswa yang lambat terkikis sedikit demi sedikit dan siswa yang cepat dalam pembelajaran termotivasi untuk terus maju. Harapan kita agar sains lebih menarik dan menyenangkan  untuk dipelajari siswa, demikian juga gurunyapun menarik dan menyenangkan.
A.    Kerangka Isi
      Pembelajaran IPA di SD memandang siswa SD sebagai pembelajar yang menjadi subyek pembelajaran di kelas. Sudut pandang tersebut menempatkan siswa SD menjadi fokus aktivitas belajar. Bagaimana siswa dapat belajar secara bermakna dalam kegiatan belajar perlu guru memfasilitasi sarana dan prasarana belajarnya selain guru telah merancang pendekatan, model, metode ataupun media pembelajaran yang secara langsung akan menjadi bagian dalam proses pembelajaran tersebut. Memfasilitasi bukan berarti guru hanya menyediakan fasilitas belajar kemudian guru boleh meninggalkan kelas selama proses pembelajaran, misalnya siswa diberi tugas sementara gurunya pergi dengan alasan bukankah ini KBK ataupun KTSP dimana siswa belajar mandiri. Bukanlah demikian. Tidak ada alasan apapun guru meninggalkan kelas selama siswanya belajar. Jika guru beranggapan bahwa dirinya kurang berperan dalam tugas-tugas kelompok di kelas, sehingga guru tercenung sendiri, ini bukanlah guru yang profesional. Guru tetap membimbing tugas-tugas yang telah diberikan sampai siswa menemukan konsep baru. Sagala, S. (2003) menuliskan bahwa pembelajaran mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu siswa mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru.
      Pada bab ini secara umum terdiri dari:
1.      Dasar Psikologis Dalam Pembelajaran IPA SD
2.      Pembelajaran IPA di SD
3.      Latihan Mandiri

B.     Tujuan Pembelajaran
      Melalui proses belajar dan berpikir rasional diharapkan:
1.      Mahasiswa dapat memberikan uraian tentang alasan pentingnya dasar psikologis dalam pembelajaran IPA di SD.
2.      Mahasiswa dapat memaknai tentang pembelajaran IPA di SD.
3.      Mahasiswa dapat menganalisis tentang peranan lingkungan belajar siswa.
4.      Mahasiswa dapat menyimpulkan berbagai paradigma dalam pembelajaran IPA di SD.
 
SUB BAB 1


DASAR PSIKOLOGIS PEMBELAJARAN IPA
(Sumber Utama: Tahmid Sabri. 2008.  Inisiasi 2. Pengembangan pembelajaran IPA SD)

A.    Psikologi Kognitif
            Psikologi kognitif yang mempengaruhi pendidikan IPA, yaitu: behaviourist, developmental, dan constructivist serta information proccessing.

1. Behaviorisme
Ciri teori behaviorisme adalah (1) mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil; (2) bersifat mekanistis; (3) menekankan peranan lingkungan; (4) mementingkan pembentukan reaksi atau respon; dan (5) menekankan pentingnya latihan (Syaodih Sukmadinata, 2003 dalam Sagala, s. 2009). Ada dua hal peting dalam pembelajaran behaviourist. Pertama, materi bahan ajar disusun secara hirarkis. Menurut Bloom, hirarkhis yang dimaksud meliputi yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Ranah kognitif merujuk apa yang dipikirkan seseorang (Bloom, 1957), ranah afektif merujuk apa yang dirasakan seseorang (Krathwohl, 1964), dan ranah psikomotor merujuk apa yang dilakukan seseorang (Simpson dkk, 1972). Implikasinya (kognitif, afektif dan psikomotor) dalam bentuk penguasaan pengetahuan, sikap dan prilaku seseorang terhadap suatu pengetahuan yang berintraksi antara stimulus dan respons yang ada dalam struktur kognitifnya. Kedua, lingkungan belajar siswa dimanipulasi sedemikian rupa sehingga mendorong siswa belajar. Saudara mahasiswa, bila kita perhatikan atau kita introspeksi sejenak apa yang pernah kita alami saat belajar atau sesudah selesai belajar, ada semacam perubahan yang kita rasakan pada diri kita, yaitu: bertambahnya pengetahuan yang mendorong terjadinya perubahan sikap, dan pada akhirnya terjadi perubahan-perubahan prilaku atau gerakan-gerakan prilaku sesuai misi pengetahuan yang kita terima atau yang kita pelajari itu. Agar lebih terarahnya perubahan-perubahan tersebut, maka dalam pembelajaran IPA SD perlu perumusan kompetensi-kompetensi atau tujuan-tujuan pembelajaran yang diaharapkan secara jelas dan konsekwen dalam bentuk Tujuan Pembelajaran.
 Prinsip-prinsip belajar menurut teori behaviorisme adalah (1) proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila siswa ikut terlibat secara aktif di dalamnya; (2) materi pelajaran diberikan dalam bentuk unit0unit kecil dan diatur sedemikian rupa sehingga hanya perlu memberikan suatu proses tertentu saja; (3) tiap-tiap respon perlu diber umpan balik secara langsung sehingga siswa dapat dengan segera mengetahui apakah respon yang diberikan betul ataukah tidak; (4) perlu diberikan penguatan setiap kali siswa memberikan respon apakah bersifat positif ataukah negatif. Penguatan yang bersifat positif akan lebih baik karena memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa, sehingga ia ingin mengulang kembali respon yang telah diberikan (Sagala, S. 2009).

2.  Developmental
            Pada psikologi kognitif developmental ini menurut Piaget (1964) ada empat tahap utama perkembangan intelektual berdasarkan struktur kognitif, yaitu: tahap sensori-motoris (dari 0- 18 bulan), tahap pra-opersional (18 bulan – 7/8 tahun), tahap operasional konkrit (7/8- 11/12 tahun), dan tahap operasi formal (11/12 sampai dengan seterusnya).
Tahap sensori-motoris merupakan tahap perverbal. Objek hanya ‘ada’ jika berada pada jangkauan perceptual (yang terlihat). Benda-benda yang tidak terlihat olehnya hanya ditetapkan secara acak (meraba-raba, tiba-tiba menyentuh sesuatu, lalu di arahkan matanya ke benda itu). Pengetahuan praktis yang dibangunnya dimasukkan ke dalam substrukur dari pengetahuan yang dibangun berikutnya.
Tahap pra-operasional menandai awal dari bahasa yang terorgasisasi, permulaan dari fungsi-fungsil simbolik, dan hasilnya adalah ditandai dengan terjadinya perkembangan pikiran seseorang individu. Saat itu kita masih berorientasi perceptual, belum berpikir logis, sehingga tidak dapat mejelaskan dalam bentuk implikasi. Saat itu pula , kita berorintasi pada tujuan yang sederhana. Kita lebih banyak mencoba-coba secara acak dan berhasil. Kita belum memiliki koordinasi antar variable. Karena itu, kita kesulitan memahami bahwa setiap objek memiliki sifat-sifat yang khas. Konsep konservasi kita belum berkembang, maka kita sulit memahami susuatu yang dapat terulang kembali.
Tahap operasional konkrit ditandai dengan cara berpikir yang cenderung konkrit/nyata. Kita mulai mampu berpikir logis yang elementer, misalnya mengelompokkan, merangkaikan sederetan objek, dan menghubungkan satu dengan yang lain. Konsep reversibilitas mulai berkembang. Pada mulanya bilangan, kemudian panjang, luas, dan volume. Kita masih berpikir tahap demi tahap tetapi belum dihubungkan satu dengan yang lain.
Tahap proposisional atau tahap operasi formal ditandai dengan dimulainya berpikir deduktif-hipotetis. Kita mulai berpikir sesuatu berdasarkan pada kemungkinan logis, system kombinatoris, dan unifikasi operasi ke dalam suatu struktur yang menggambarkan keseluruhan. Kita telah mampu berpikir seperti cara berpikirnya orang dewasa/ilmuwan. Bagi Anda, tahap yang penting diketahui secara mendalam adalah tahap pra-operasional dan tahap operasional konkrit, karena siswa Anda kelak berada pada tahap ini. Anda dipersilahkan membaca sumber-sumber yang berkaitan dengan teori perkembangan intelektual anak.
Implementasi tradisi developmental ini adalah penyajian pengetahuan kepada siwa disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual mereka. Dikatakan bahwa usaha untuk menyajikan bahan ajar dengan cara yang sesuai dengan tahap inteletual yang lebih tinggi hanya membuang-buang waktu saja. Kita harus taat pada tahapan-tahapan itu. Walau demikian, sesungguhya, banyak juga yang melihat kekurangannya. Misalnya, pengajaran dalam tradisi developmental sangat ‘age-related orientation’. Penyajian sangat spesifik bagi siswa dengan usia tertentu. Karena itu kurang fleksibel (Osborne dan Witrock, 1985, Case 1985, Smith, 1987).
            Kesulitan menerapkan tradisi developmental ini secara penuh dalam pembelajaran disebabkan karena Piaget tidak membedakan antara pengetahuan (knowledge) dan orang yang mencari pengetahuan (knower) (Boyle, 1980). Para educator menganggap bahwa belajar dapat dipahami melalui perkembangan intelektual pebelajar. Selain itu, Teori Piaget ini juga melupakan perbedaan individual siswa (Driver, 1982).
            Konsep perkembangan kognitif juga dikemukakan oleh Jerome Bruner, bahwa belajar adalah adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku individu, maka tahap perkembangan kognitif siswa sebagai individu terjadi melalui tiga tahap, yaitu (Supriono, Agus. 2009): (1) tahap enaktif yaitu siswa melakukan aktivitas dalam upaya memahami lingkungannya, memahami dunia sekitarnya dengan pengetahuan motorik; (2) tahap ikonik yaitu siswa memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar atau visualisasi verbal, memahami dunia sekitarnya dengan bentuk perumpamaan dan perbandingan; (3) tahap simbolik yaitu siswa telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika, memahami dunia sekitarnya melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika dan sebagainya.
            Lebih lanjut menurut Bruner perkembangan kognitif siswa dapat dikembangkan melalui penyusunan materi pelajaran dan mempresentasikannya sesuai dengan tahap perkembangan siswa tersebut. Penyusunan materi pelajaran dan penyajiannya dapat dimulai dari materi secara umum kemudian secara berkala ke arah yang lebih rinci. Perkembangan kognitif menurut Bruner merupakan proses discovery learning (belajar penemuan). Dalam konteks pembelajaran IPA di SD proses penemuan merupakan keterampilan proses sains, melalui observasi, pengukuran, identifikasi, klasifikasi, hipotesis, analisis dan komunikasi melalui fenomena yang terjadi di lingkungan siswa.
            David Ausubel juga memberikan statemen terhadap proses belajar yaitu belajar sebagai reception learning. Salah satu konsep penting dalam reception learning adalah advance organizer sebagai kerangka konseptual tentang isi pelajaran yang akan dipelajari siswa dan yang menghubungkan antara skemata yang sudah dimiliki dengan informasi baru. Dalam penyajiannya advance organizer berupa peta konsep, seperti peta konsep tentang bunyi, energi, gaya, mahluk hidup dan proses kehidupan, bumi dan alam semesta.

3. Konstruktivis
            Belajar dapat dipandang sebagai proses konstruktif dimana siswa membangun dari representasi pengetahuan internal (internal representation of knowledge) dan interpetasi pengalaman personal (personal interpretation of experience) (Duffy, T.M., 1992). Menurut Piaget pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman-pengalamannya dalam hubungannya dengan skema-skema pada struktur kognitifnya yang telah ada sebelumnya (prior knowledge). Oleh sebab itu kemampuan berpikir siswa akan berkembang jika siswa melakukan pengamatan sendiri secara langsung, dengan demikian siswa memiliki pengalaman konkrit sebagai suatu fakta. Fakta ini selanjutnya akan menjadi konsep yang dimiliki siswa, melalui proses equilibrasi. Sebagaimana yang dikatakan Piaget “kamu tidak dapat membelajarkan konsep secara verbal, kamu harus menggunakan metode yang didasari aktivitas” (Weikart, D.P., 1977). Dalam kaitannya dengan penguasaan konsep IPA, maka dipandang perlu untuk menegaskan tentang penggunaan metode pembelajaran yang tepat, metode pembelajaran tersebut bukanlah yang berpusat pada guru tetapi yang berpusat pada siswa.
            Siswa dalam kehidupannya sehari-hari pasti banyak pengalaman yang mereka peroleh dari lingkungannya yang sebagian besar berada di luar sekolah. Jadi siswa dalam kelas bukan dengan pikiran yang kosong. Guru seharusnya memperhatikan pengetahuan dan bagaimana siswa memperoleh pengetahuannya tersebut, sehingga dapat menunjang proses perolehan pengetahuan lebih lanjut di kelas.
            Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai tahapan aktivitas dari fungsi intelektual dari konkrit menuju abstrak. Pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan mental bukan secara kuantitatif tetapi secara kualitatif. Piaget menyarankan agar siswabelajar secara individu dan dalam kelompok-kelompok kecil. Sebab melalui kelompok siswa dihadapkan pada pandangan siswa lain, pengalaman ini penting bagi siswa untuk secara berangsur-angsur melepaskan ikatan egosentrisnya.
            Ada empat faktor yang menunjang perkembangan mental anak (Amin, M, 1987) yaitu : 1. Maturation : proses perubahan fisiologis dan anatomis, proses pertumbuhan tubuh, otak dan sistem syaraf, 2. Physical Experience : interaksi dengan lingkungan fisik, manipulasi obyek-obyek di sekitarnya, 3. Social Experience : interaksi dengan teman/orang lain, menghilangkan sifat egosentris, 4. Equilibration : proses dimana anak merespons stimulus secara mental dan terdiri dari assimilation (menerima informasi dari lingkungannya dan menghubungkannya ke dalam bagan konsep atau struktur, dan accomodation (memodifikasi bagan-bagan konsep atau struktur untuk menerima informasi baru).
Rosalin Driver (1982) menyatakan bahwa kontribusi pendidikan IPA, menurut kacamata konstruktivis, adalah pengembangan serangkaian makna personal untuk memahami kejadian sehari-hari dan pengalamannya. Dasar dari teori konstruktivisme berfokus pada perolehan pengetahuan (acquisition of knowledge) (Schnell, 1986). Belajar dipandang sebagai suatu proses aktif (Millar dan Driver, 1987) dalam mengkonstruksi makna melalui interaksi dengan lingkungan sekitar (Driver dan Bell, 1986; Clough dan Driver, 1986) dengan cara menghubungkan pengetahuan yang sedang dipelajari dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya (Driver dan Bell, 1986). Driver dan Bell (1986) menyatakan bahwa hasil belajar tergantung pada lingkungan belajar dan pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Pengalaman siswa dan bahasa yang digunakan menentukan pola dari makna yang dikonstruksi siswa. Karena itu, siswa bertanggung jawab dalam proses belajar.
            Ada sejumlah model proses belajar dalam tradisi konstruktivis yang telah diusulkan. Pines dan West (1986) menunjuk tiga model belajar: conceptual development, conceptual resolution, dan conceptual exchange. Conceptual development terjadi apabila pengetahuan yang dimiliki siswa perlu diintegrasikan pada pengetahuan formal yang sedang dipelajari. Jika dalam proses integrasi itu perlu perubahan kecil pada pengetahuan yang telah dimiliki siswa, maka proses ini disebut conceptual resolution. Dan, jika perubahan yang dilakukan cukup besar, maka proses belajar semacam itu disebut conceptual exchange. Ketiga model tersebut sejalan dengan model generatif sebagaimana yang diusulkan oleh Osborne dan Witrock (1985), yaitu bahwa pengetahuan yang dimiliki siswa memilih input sensori tertentu dari fenomena yang sedang dipelajari dengan cara memfokuskan perhatiannya pada input ini. Model generatif ini secara terus menerus menguji pengetahuan yang baru sebelum diintergrasikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya agar terbentuknya suatu kebermaknaan dalam belajar.
            Dari empat tradisi psikologi kognitif yang mempengaruhi pembelajaran IPA, tradisi behaviouris, developmental, information processing, dan konstruktivi hanya tradisi behaviouris dan konstruktivis yang secara eksplisit memberikan pengertian tentang belajar. Menurut tradisi behaviouris belajar didefisikan sebagai perubaha tingkah laku yang relatif permanen. Sedangkan dalam tradisi konstruktivis, belajar didefinisikan sebagai proses konstruksi pengetahuan. Tradisi developmental menyarankan agar pengajaran disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual siswa (untuk usia SD adalah praoperasional dan operasional konkrit). Tradisi information processing menjelaskan bagaimana otak bekerja selama belajar, yaitu mirip kerja computer: ada input, proses, dan output. Karena itu hasil belajar bisa deprogramkan.

4. Information processing
            Information processing dapat dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut dari teori-teori perkembangan kognitif. Information processing merujuk pada bagaimana kita mengolah stimuli yang datang dari sekitar kita, cara mengolah data, cara mengendus masalah, cara membangun konsep, cara menyelesaikan masalah, dan cara menggunakan symbol-simbol baik verbal mapun nonverbal (Weil dan Joyce, 1978). Horton dan Turnage (1976) menyatakan bahwa pendekatan information processing dalam pembelajaran didasarkan pada analogi antara otak manusia dan komputer. Otak dan komputer sama-sama menerima masukan dari luar (input), beroperasi dengan bebagai cara (proses), dan mengahsilkan luaran (output). Maka, information processing dapat dipakai sebagai suatu metode untuk menganalisis dan mensintesiskan informasi secara berurutan, tahap demi tahap (Parrill-Bunstein, 1981).
            Penelitian dalam bidang ini meliputi pembuatan program untuk menstimuli suatu tingkah laku konseptual manusia dalam menyelesaikan masalah, menyajikan masalah ini kepada siswa, dan membandingkan kinerjanya dengan kinerja komputer. Kinerja komputer digunakan untuk menjelaskan kinerja otak manusia (Case 1974). Kemajuan teknologi komputer yang selain menjadi sangat ‘canggih’ dan semakin ‘murah’ mendorong tradisi information processing ini masuk ke dunia ‘pembelajaran dengan cepat. Salah satu di antaranya adalah program yang Anda ikuti ini. Di masa mendatang , kiranya information processing akan menjadi tradisi tesendiri yang cukup berpengaruh pada pembelajaran, khususnya pembelajaran IPA.






















SUB BAB 2
 



PEMBELAJARAN IPA SD

Saudara mahasiswa, selanjutnya kita akan membahas permasalahan yang berhubungan dengan pembelajaran IPA SD. Sebelum kita membahas masalah pembelajaran IPA, kita mengajak Anda menelusuri psikologi kognitif seperti yang sudah diungkapkan pada bagian terdahulu (behaviourisme, developmental, information proccessing dan kontruktivisme). Dilihat dari dimensi kurikulumnya keempat psikologi kognitif itu dapat digolongkan ke dalam dua paradigma, yaitu paradigma absolutisme dan paradigma konstruktivisme (Leo Sutrisno, 2001).
            Dalam paradigma absolutisme, materi bahan ajar disusun ’dari atas’, oleh para ahli, baik ahli IPA maupun ahli pendidikan IPA. Karena disusun dari atas, materi ini tidak dapat dipertanyakan. Seperti itulah yang harus dipelajari. Pedagoginya berbentuk alih pengetahuan. Para guru berfungsi sebagai agen alih pengetahuan. Dengan menganut teori tabula rasa, siswa dianggap kertas putih yang siap ditulisi oleh para guru apapun isi dan bentuknya. Di sinilah timbul istilah “nyekoki” sebagaimana bayi dipaksakan untuk makan, sehingga guru sebagai transfer pengetahuan. Evaluasi hasil belajar dalam paradigma ini adalah reproduksi pengetahuan, seberapa banyak siswa menguasai pengetahuan yang telah diberikan. Pembelajaran dengan paradigma absolutisme adalah bagaikan ’mengisi botol kosong’.
            Dalam paradigma konstruktivisme, materi tidak disusun dari atas tetapi ditetapkan bersama-sama antara siswa dan guru dengan fokus sesuai dengan kebutuhan siswa. Pedagoginya berupa proses fasilitasi agar konstruksi pengetahuan yang dilakukan siswa berlangsung. Guru berfungsi sebagai fasilitator. Membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya dengan cara mereduksi konflik-konflik konseptual sesedikit mungkin. Evaluasi hasil belajar berupa asesmen unjuk kerja. Dengan demikian hasil belajar tidak sekedar pemberian tes tetapi kumpulan hasil kerja yang telah siswa lakukan yang disusun dalam suatu portopolio. Pembelajaran dengan paradigma konstruktivisme adalah ’pemberdayaan.’.

A.    Belajar IPA
            Mempelajari kekhasan dari kedua paradigma di atas, menurut Anda, tradisi behaviourisme dapat digolongkan dalam paradigma yang mana? Tentu, dengan ’mudah’ Anda dapat menentukan dalam paradigma absolutisme. Bagaimana halnya dengan tradisi developmental dan tradisi information proccessing? Kedua tradisi ini tidak memberikan penjelasan secara eksplisit tentang belajar. Tradisi developmental memberi saran kepada para edukator agar memperhatikan perkembangan intelektual siswa dalam setiap kegiatan pembelajaran. Sedangkan tradisi information proccessing hanya memberitahukan bahwa kerja otak manusia dalam mengolah informasi mirip dengan kerja sebuah komputer. Dengan demikian, kedua tradisi ini tidak dapat digolongkan pada paradigma yang mana.. Marilah kita coba mencermati tentang belajar IPA dalam kedua paradigma ini.

a.      Belajar Dalam Paradigma Absolutisme
            Dalam paradigma absolutisme, kurikulum pendidikan IPA secara penuh dibuat secara sentralistik, di tingkat pusat. Jika membuka-buka kembali kurikulum 1975 dan 1994, misalnya, akan Anda temukan rumusan-rumusan: tujuan kurikuler, tujuan instruksional, pokok bahasan, sub pokok bahasan, kelas, semester, sumber bahan, dan bahan ajar. Anda, sebagai guru tinggal menetapkan tujuan khusus dan membuat rencana kegiatan selama di depan kelas serta mengajarkannya.Sumber bahan pun telah disiapkan dengan nama buku paket.
            Siswa yang belajar datang ke sekolah, duduk, menyimak, mendengarkan, mencatat, dan mengulang kembali di rumah serta menghapalkannya untuk menghadapi tes hasil belajar atau ulangan. Sifat dari tes hasil belajar, ulangan, ujian bersifat reproduksi pengetahuan. Seberapa luas dan dalam bahan/materi yang telah dibicarkan di kelas dikuasai siswa. Sebagian dari Anda, tentu telah mengalami pembelajaran yang seperti ini baik di tingkat sekolah dasar, sekolah lanjutan atau bahkan di tingkat perguruan tinggi. Cara belajar seperti ini hampir tidak memberi ruang bagi siswa untuk mengembangkan pendapatnya sendiri. Dengan demikian, siswa terkesan lebih pasif. Semua kegiatan terpusat pada guru. Siswa akan ’menirukan’ penjelasan yang diberikan guru di depan kelas. Hanya ada satu penjelasan yang dianggap ’benar’ yaitu penjelasan yang diberikan guru. Dalam evaluasi hasil belajar juga hanya ada satu jawaban yang dinyatakan benar yaitu jawaban yang sesuai dengan penjelasan guru. Karena itu, siswa akan selalu berusaha untuk ’menyesuaikan’ pendapatnya dengan pendapat gurunya, walaupun sesungguhnya tidak sepakat. Dengan cara seperti itulah siswa dapat memperoleh nilai tinggi. Sebaliknya, bisa juga terjadi jika bagi siswa yang bersikeras untuk mengajukan konstruksinya sendiri yang berbeda dengan apa yang telah disampaikan guru, walaupun argumentasinya bagus tetap akan memperoleh nilai rendah.
            Bagi Anda yang memegang paradigma absolutisme, dalam mempelajari mata kuliah ini, akan berusaha menghafal seluruh penjelasan dari buku ini dengan sekuat tenaga,dan dengan membabi buta. Anda beranggapan, hanya dengan cara begitu nilai tinggi dapat diraih. Anda tidak perlu pusing mencari penjelasan dari buku lain karena hal itu hanya membuang-buang waktu saja. Dalam paradigma absolutisme, belajar didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku yang mencerminkan dari keadaan belum tahu ke keadaan sudah tahu. Siswa dianggap sebagai botol kosong, artinya dianggap tidak mempunyai kemampuan, hal ini terjadi dikarenakan sistem pendidikan yang berlaku bersifat sentralisasi, terlihat dari kurikulum yang digunakan ditentukan sepenuhnya dari pusat.
            Sekalipun demikian belajar IPA di SD dengan paradigma absolutisme masih terjadi di sekolah-sekolah, mereka menghafal rumus bahkan rumus-rumus mereka salin dikertas kecil dan dilipat rapih untuk dapat menjadi “kerpekan” atau dengan alasan ke kamar kecil mereka melihat kembali rumus-rumus yang ada di kertas itu. Jadi paradigma absolutisme ini menjadikan siswa melakukan tindakan tidak terpuji yaitu “ngerpek’ atau “nyontek” dari temannya, karena memungkinkan jawaban yang sama seperti yang ada pada buku atau catatan.
b.      Belajar Dalam Paradigma Konstruktivisme
            Dalam paradigma absolutisme, siswa dianggap tidak memiliki pengetahuan apa pun ketika berada di awal proses pembelajaran. Ibarat sebuah botol kosong. Sebaliknya, dalam paradigma konstruktivisme, siswa diakui telah memiliki pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki sebelum mengikuti proses kegiatan pembelajaran yang sesungguhnya sering diberi label pengetahun awal siswa. Pengetahuan awal ini diperolehnya dari sumber-sumber belajar yang tersedia di luar bangku sekolah atau dari pembelajaran sebelumnya. Seperti juga Anda saat ini, Anda telah memiliki pengetahuan pembelajaran IPA. Pengetahuan itu Anda peroleh dari berbagai sumber, termasuk ketika Anda kuliah di program yang lain. Pendek kata, Anda tidak berawal sebagai botol kosong. Anda telah memiliki konsepsi awal tentang pembelajaran IPA.
            Cara belajar semacam ini oleh para ahli disebut juga belajar secara generatif. Mengingat pengetahuan awal dan pengalaman setiap siswa sangat individual maka pengetahuan yang baru dikonstruksi masing-masing siswa ada kemungkinan tidak sama satu dengan yang lain. Anda dapat mempelajari, dari sumber-sumber lain tentang pembelajaran IPA dalam tradisi konstruktivis. Proses belajar siswa sesungguhnya mirip dengan yang dilakukan para ilmuwan IPA, yaitu melalui pengamatan dan percobaan. Penelitian IPA adalah penelitian empiris. Siswa sekolah dasar juga belajar IPA melalui investigasi yang mereka lakukan sendiri. Jika pengalaman seperti ini tidak memadai maka pemahamannya juga tidap lengkap. Investigasi merupakan cara normal bagi siswa yang belajar.
            Belajar pada paradigma konstruktivis menempatkan siswa secara aktif melakukan konstruk terhadap pengalaman baru sesuai dengan pengalaman awalnya.  Seperti pada materi pelajaran “energi dan perubahannya”, maka pengalaman awal siswa tentang energi itu dapat berupa kayu bakar, gas LPG, batubara, dan minyak tanah. Ketika siswa menangkap penjelasan guru bahwa energi fosil dapat berubah menjadi panas, maka siswa mempunyai keterkaitan dengan pengalamannya sewaktu ibu mereka memasak air. Jika demikian siswa telah melakukan asimilasi tetapi kalau tidak siswa melakukan adaptasi.

c.       Pembelajaran dalam paradigma absolutisme
            Saudara mahasiswa, dalam paradigma absolutisme belajar didefinisikan sebagai proses perubahan tingkah laku dari belum tahu ke sudah tahu, dari yang ’salah’ ke yang ’benar’. Tingkah laku yang ’benar’ dirumuskan dari ’atas’, dirumuskan oleh para ahli. Untuk mencapai tingkah laku yang benar itu, kepada siswa diberikan sejumlah bahan (IPA) yang harus dipelajari. Materi itu juga dipilih oleh para ahli (pendidikan). Sebagai konsekuensi dari pemikiran ini, maka diperlukan proses alih pengetahuan dari para ahli ke siswa. Proses alih pengetahuan terjadi pada kegiatan pembelajaran. Guru berfungsi sebagai pelaksana alih pengetahuan. Guru menjadi agen alih pengetahuan. Guru berfungsi sebagai ’pemutar keran’ yang menentukan seberapa banyak air yang dikucurkan. Siswa, sebagai ’ember’ penampung kucuran pengetahuan dari keran, menerima begitu saja semua pengetahuan yang dikucurkan oleh gurunya.
Model pembelajaran seperti ini bersifat satu arah- dari guru ke siswa. Juga tidak perlu tejadi interaksi antar siswa karena mereka tinggal menerima bahan ajar yang sama. Karena itu, pengajaran ini juga bersifat indoktrinasi-memberitahu yang benar dan yang tidak benar. Pedek kata, mengajar dalam paradigma absolutisme dapat diibaratkan sebagai kegiatan ’mengisi botol kosong’. Cara seperti ini tidak akan membuat siswa sekolah dasar menggemari IPA. IPA tidak bermakna bagi siswa. Padahal, kurikulum 2006 ini megamanatkan bahwa Mata Pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 2. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat. 3. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan, 4. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam
            Sekalipun demikian pembelajaran IPA di SD dengan paradigma absolutisme masih terjadi di sekolah-sekolah, kondisi ini menunjukkan bahwa peranan guru tidak dapat ditinggalkan sebagaimana “digugu dan ditiru” sehingga masih menempatkan guru sebagai sentral proses pembelajaran di kelas. Inspirasi tersebut beranjak dari “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani” . Kalau sudah “ing ngarso” ya tidak berhenti di situ tetapi perlu “ing madyo” dan “tut wuri’.

d.      Pembelajaran dalam paradigma konstruktivisme
            Dalam paradigma konstruktivisme, belajar dipahami sebagai proses aktif siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan dengan cara membuat ’link’ antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang sedang dipelajari melalui interaksi dengan yang lain. Pengertian belajar seperti ini, paling tidak mengandung tiga hal. Pertama adalah proses aktif untuk mengkonstruksi pengetahuan. Kedua adalah membuat ’link’ antara pengetahuan yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang sedang dipelajari. Ketiga adalah interaksi dengan yang lain. 
            Mari kita lihat situasi pada saat seorang anak sedang belajar main layang-layang dan bapaknya. Apa yang mereka lakukan? Anak dan bapak berkolaborasi menaikkan layang-layang. Bisa jadi, si anak akan berlari sambil menarik benang, dan si bapak memegangi layang-layang tegak berdiri ke atas. Atau sebaliknya. Mereka juga melakukan dialog agar dihasilkan keputusan bersama dan dapat dilaksanakan secara bersama. Mungkin juga antara mereka juga ’bertengkar’, ’beteriak’ saling meminta agar menyesuaikan diri/posisi terhadap yang lain. Tujuan akhir adalah si anak mampu menaikkan layang-layang sendiri. Mereka berdua aktif, tentunya, berlarian di lapangan. Si anak tentu secara terus menerus membuat ’link’ antara pengetahuan yang diperoleh hari sebelumnya dengan kejadian yang saat itu dialami. Pengalaman hari-hari sebelumnya dipadukan dengan pengetahuan yang dihadapi saat itu. Mereka tentu juga saling berinteraksi satu dengan yang lain. Demikian juga, proses mengajar dalam paradigma konstruktivisme, siswa, seperti anak yang sedang belajar menaikkan layang-layang, aktif mencari pengetahuan (IPA) didampingi guru sebagai fasilitator yang juga aktif. Mereka secara bersama-sama terlibat aktif dalam dialog mencari ’kebenaran’ IPA. Mengajar berarti memberdayakan, mengajar untuk belajar.
            Sehubungan mengajar dalam paradigma konstruktivisme, ada 5 prinsip yang ditawarkan oleh Ishii (2003) ‘five guiding principles of constructivism’ yang dapat diterapkan di kelas, yaitu:
1. Posing problems of emerging relevance to students Dengan focus pada minat siswa dan pengetahuan awal sebagai titik awal, siswa menjadi mudah terlibat dan termotivasi untuk belajar. Pertanyaan-pertanyan yang relevan diberikan kepada siswa mendorong mereka berpikir dan mempertanyakan apa yang dipikirkan itu.
2. Structuring learning around primary concepts. Ini merujuk pada perancangan pelajaran di sekeliling ide atau konsep utama, daripada menyajikan berbagai topic yang terpisah-pisah satu dengan yang lain. Menggunakan konsep yang lebar memungkinkn siswa terlibat dari berbagai perspektif, dan kemampuannya.
3. Seeking and valuing students' points of view. Prinsip ini memberi kesempatan mengakses penalaran siswa dan proses berpikirnya. Dengan cara itu, guru dapat menyususp lebih dalam agar belajar menjadi lebih berarti bagi siswa. Tentu saja Anda sebagai guru harus siap menjadi pendengar yang baik lebih dahulu.
4. Adapting curriculum to address students' suppositions. Adapatasi kurikulum untuk menghargai gagasan siswa merupakan fungsi dari kebutuhan kognitif pada tugas-tugas spesifik dan hakikat pertanyaan siswa yang terlibat pada tugas tersebut.
5. Assessing student learning in the context of teaching dalam penbelajaran tradisional konteks belajar sering tidak berhubungan dengan asesmen. Asesmen yang autentik mestinya dapat dicapai melalui pengajaran, interaksi antara guru dan siswa siswa dengan siswa, serta pengamatan tentang tugas-tugas yang dilaksanakan siswa.


e.       Guru sebagai fasilitator
            Memperhatikan kelima prinsip itu maka sesungguhnya guru lebih berposisi sebagai fisilitator daripada sebagai nara sumber. Apa arti guru sebagai fasilitator? Apa beda antara nara sumber dan fasilitator? Pada umumnya yang Anda lakukan selama ini di kelas lebih mirip sebagai nara sumber ketimbang sebagai fasilitator. Mengapa?!. Anda memposisikan diri sebagai seorang yang lebih tahu dibandingkan para siswa di kelas itu. Anda bertugas memberikan pemahaman tentang konsep-konsep, prinsip-pinsip dan teori-teori IPA kepada siswa. Anda juga menempatkan sebagai seorang pemimpin di kelas itu. Fungsi semacam ini adalah seorang nara sumber.
            Apa yang dilakukan seorang fasilitator? Jika Anda memposisikan diri sebagai fasilitator maka Anda akan berusaha agar semua siswa berpartisipasi sehingga tujuan belajar yang telah ditetapkan tercapai secara optimal. Anda juga akan lebih banyak menggali siswa untuk melakukan eksplorasi pengetahuan dan pengalaman baru.

B.       Prinsip-prinsip Pembelajaran IPA SD
            Dalam salah satu kisah kuno India, diceritakan enam orang buta yang menggambarkan seekor gajah. Orang pertama mendekati gajah dari samping. Ia mendapati punggung gajah. Ia katakan gajah itu datar, kokoh seperti dinding. Orang kedua mendekati gajah dari depan dan terpeganglah belalai. Ia mengatakan gajah seperti pipa plastik yang lentur, bisa digulung. Orang ketiga mendekati gajah dari samping, kebetulan agak pendek, terpeganglah kakinya. Ia bilang gajah itu mirip batang pohon kelapa, bulat, tegak dan panjang. Orang keempat agak tinggi, ia bernasib baik dapat memegangi telinga. Ia menyebutkan gajah itu seperti kipas raksasa. Orang kelima, mendekati dari belakang dan yang terpegang ekor. Ia bilang gajah itu mirip sikat botol. Dan orang keenam mendekati gajah dari depan, gading yang tertegang. Ia menyatakan gajah itu mirip tombak. Mereka bertengkar dan berteriak saling mempertahankan temuannya. Anda, orang yang tidak buta hanya tersenyum karena Anda tahu bahwa masing-masing hanya ‘tahu’ sebagian dari seekor gajah yang utuh. Sesungguhnya, orang buta itu kita, Saya dan Anda. Kita meraba-raba tentang dunia di sekitar kita. Hasil ‘rabaan’ itu kita nyatakan sebagai pengetahuan yang telah lengkap, yang benar. Sesungguhnya, perbedaan pendapat itu disebabkan oleh perbedaan pengalaman. Karena itu, kita perlu melihat yang lebih luas dan lebih rinci secara sistematis dan metodis.
Dari cerpen di atas, dapat digarisbawahi, bahwa  pendapat enam orang buta tentang gajah,   memiliki persepsi yang berbeda, ”mengapa?”, karena adanya pengalaman yang berbeda tentang ”gajah”, makanya supaya ada keseragaman persepsi tentang gajah itu, perlu ada kriteria-kriteri tersendiri  yang disebut dengan prinsip, demikian juga dalam pembelajaran, di samping bisa membuat siswa senang, aktif, dan kreatif  dalam belajar, perlu  prinsip-prinsip pembelajaran yang harus dikembangkan dalam pembelajaran.
 Berikut disajikan lima prinsip utama pembelajaran IPA  tentang kebenaran  dalam pembelajaran IPA yang dijadikan anutan untuk melaksanakan pembelajaran IPA, yaitu:
Prinsip 1:   Pemahaman kita tentang dunia di sekitar kita di mulai melalui  
                                     pengalaman baik secara inderawi maupun non inderawi.
Prinsip 2:   Pengetahuan yang diperoleh ini tidak pernah terlihat secara langsung,
                   karena itu perlu diungkap selama proses pembelajaran. Pengetahuan  
                  siswa yang diperoleh dari pengalaman itu perlu diungkap di setiap
                  awal pembelajaran.
Prinsip 3:   Pengetahuan pengalaman mereka ini pada umumnya kurang
                   konsisten dengan pengetahuan para ilmuwan, pengetahuan yang Anda
                   miliki. Pengetahuan yang demikian Anda sebut miskonsepsi. Anda
                   perlu merancang kegiatan yang dapat membetulkan miskonsepsi ini
                   selama pembelajaran.
Prinsip 4:   Dalam setiap pengetahuan mengandung fakta, data, konsep, lambang
                   dan relasi dengan konsep yang lain. Tugas Anda sebagai guru IPA
                   adalah mengajak siswa untuk mengelompokkan pengetahuan yang
                   sedang dipelajari itu ke dalam fakta, data, konsep, symbol, dan
                   hubungan dengan konsep yang lain.

Prinsip 5:   IPA terdiri atas produk, proses, dan prosedur. Karena itu, Anda
                  perlu mengenalkan ketiga aspek ini walaupun hingga kini masih
                  banyak guru yang lebih senang menekankan pada produk IPA saja.  
                  Namun, perlu diingat bahwa perkembangan IPA sangat pesat. Kita
                  tidak mampu mengikuti secara terus. Selanjutnya, jika Anda akan
                  mengembangkan IPA sebagai prosedur, Anda memasuki bidang yang
                 disebut prosedur ilmiah. Anda masuk pada sebagai ruang dari metode
                 penelitian. Anda perlu mengenalkan cara-cara mengumpulkan data,
                 cara menyajikan data, cara mengolah data, serta cara-cara menarik
                 kesimpulan. Anda dapat mempelajari topik ini pada mata kuliah
                 penelitian.
            Prinsip pembelajaran IPA SD yang lain berdasarkan pada penciptaan lingkungan yang kondusif sehingga guru dan siswa ada secara bersama-sama dalam aktivitas yang saling membelajarkan, yaitu:
  1. Prinsip Motivasi : motivasi adalah daya dorong seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan. Motivasi ada yang berasal dari dalam atau intrinsik dan ada yang timbul akibat rangsangan dari luar atau ekstrinsik. Motivasi intrinsik akan mendorong rasa ingin tahu, keinginan mencoba, mandiri dan ingin maju. Motivasi ini merupakan dasar dari aktivitas guru dan siswa, aktivitas ini perlu ditumbuhkan dan diarahkan ke motivasi intrinsik.
  2. Prinsip Latar : pada hakekatnya siswa telah memiliki pengetahuan awal. Oleh karena itu dalam pembelajaran guru perlu mengetahui pengetahuan, keterampilan dan pengalaman apa yang telah dimiliki siswa sehingga kegiatan belajar mengajar tidak berawal dari suatu kekosongan. Guru seharusnya memandang latar belakang siswa yang sudah memiliki seperangkat pengetahuan dan pengalaman awal yang dapat menjadi pijakan kognitif terutama pada awal membuka pembelajaran yaitu dalam sesi apersepsi.
  3. Prinsip Menemukan : pada dasarnya siswa memiliki rasa ingin tahu yang besar sehingga potensial untuk mencari guna menemukan sesuatu. Oleh karena itu bila diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi tersebut siswa akan merasa senang atau tidak bosan. Pemberian kesempatan terletak pada metode yang dipakai guru yaitu metode inquiry dan discovery terhadap konsep yang akan dipelajari dan sifat konsep tersebut setidaknya mempunyai tantangan.
  4. Prinsip Belajar Sambil Melakukan (learning by doing) : Pengalaman yang diperoleh melalui bekerja merupakan hasil belajar yang tidak mudah terlupakan. Oleh karena itu dalam proses belajar mengajar sebaiknya siswa diarahkan untuk melakukan kegiatan atau ”Learning by Doing”. Pembelajaran sambil melakukan menempatkan diri pada dunia siswa, dimana siswa aktivitas motoriknya masih sangat energik. Metode percobaan dan  proyek sangat sesuai untuk mewujudkan prinsip ini.
  5. Prinsip Belajar sambil Bermain : bermain merupakan kegiatan yang dapat menimbulkan suasana gembira dan menyenangkan, sehingga akan dapat mendorong siswa untuk melibatkan diri dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu dalam setiap pembelajaran perlu diciptakan suasana yang menyenangkan lewat kegiatan bermain yang kreatif. Misalnya menggunakan game tournament dan puzzle.
  6. Prinsip Hubungan Sosial : dalam beberapa hal kegiatan belajar akan lebih berhasil jika dikerjakan secara berkelompok. Dari kegiatan kelompok siswa tahu kekurangan dan kelebihannya sehingga tumbuh kesadaran perlunya interaksi dan kerja sama dengan orang lain.
Dari prinsip-prinsip tersebut di atas nampak bahwa semuanya dalam rangka menciptakan suasana pembelajaran yang membuat siswa senang sehingga mereka akan terlibat aktif dalam pembelajaran. Untuk menunjang penerapan prinsip-prinsip tersebut di atas guru dalam mengelola pembelajaran perlu:
·         Menyajikan kegiatan yang beragam sehingga tidak membuat siswa jenuh.
·         Menggunakan sumber belajar yang bervariasi, disamping buku acuan.
·         Sesekali dapat bekerjasama dengan masyarakat, kantor-kantor, bank, dll, sebagai sumber informasi yang terkait dengan praktek kehidupan sehari-hari.
·         Memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, karena belajar akan bermakna apabila berhubungan  langsung pada permasalahan lingkungan sekitar siswa.
·         Kreatif menghadirkan alat bantu pembelajaran. Proses ini dapat memudahkan siswa untuk memahami materi pembelajaran atau dapat menolong proses berpikir siswa dalam membangun pengetahuannya.
·         Menciptakan suasana kelas yang menarik, misalnya pajangan hasil karya siswa dan benda-benda lain, peraga yang mendukung proses pembelajaran.

C.      Lingkungan Belajar Siswa
Setelah Anda mengenal lima prinsip pembelajaran IPA dan siap mengimplementasikannya, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk membuat siswa belajar dengan baik, yaitu lingkungan belajar non fisik. Lingkungan belajar non fisik adalah keadaan psikologis di sekitar siswa yang diciptakan oleh guru secara sengaja untuk mendorong siswa belajar.
Faktor-faktor lain yang perlu mendapat pertimbangan guru dalam melaksanakan pembelajaran IPA di sekolah, adalah  sebagai  berikut:
1. Lingkungan belajar yang mendukung dan produktif.
         Lingkungan belajar yang mencerminkan prinsip ini adalah jika Anda sebagai guru membangun hubungan yang positif dengan setiap siswa, Anda mengenal dan menghargai mereka satu per satu. Anda juga membangun budaya saling menghargai dan saling menghormati antar siswa baik secara individual maupun kelompok. Anda menggunakan berbagai strategi untuk meningkatkan keyakinan kepada diri sendiri dan kesediaan mengambil resiko dalam belajar. Dan, terakhir, Anda perlu menunjukkan rasa aman pada setiap siswa secara individual melalui dukungan yang terstruktur,    penghargaan pada usaha siswa serta  yang dikerjakannya.
         Salah satu yang paling mungkin Anda laksanakan adalah pada setiap proses pembelajaran Anda mulai dengan mengapresiasi konsepsi siswa tentang konsep-konsep IPA yang akan dipelajari pada pertemuan itu.
2. Lingkungan belajar yang menumbuhkan peningkatan kemandirian, kolaboratif, dan  motivasi diri.
             Dalam lingkungan semacam ini Anda, sebagai guru, mendorong dan mendukung agar  setiap siswa bertanggung jawab atas belajar mereka masing-masing. Keberhasilan belajar di tangan para siswa sendiri, sebaiknya ditanamkan. Anda juga membangun berbagai strategi yang dapat menumuhkan keterampilan kolaborasi yang produktif.

3. Kebutuhan siswa, perspektif siswa, minat siswa tercermin dalam program belajar.
          Lingkungan belajar yang seperti ini tercermin pada diri Anda, sebagai guru yang menggunakan berbagai strategi yang fleksibel dan responsive terhadap tata nilai, kebutuhan dan minat siswa secara individual. Anda juga mempergunakan berbagai strategi yang mendukung berbagai cara berpikir dan cara belajar siswa. Dan, pembelajaran Anda didasarkan pada pengalaman serta pengetahuan awal siswa.

4. Siswa ditantang dan didukung agar mengembangkan kemampuan berpikir kritis.
         Lingkungan belajar seperti ini dapat terjadi jika Anda sebagai guru merancang dan mengimplementsikan suatu kegiatan yang menumbuhkan belajar yang berkelanjutan, melalui penekanan hubungan antar gagasan dan konsep, serta menumbuhkan ketrampilan investigasi dan penyelesaian masalah.

5. Asesmen merupakan bagian integral dari pembelajaran
         Lingkungan belajar seperti ini tercermin pada asesmen yang Anda buat yang dapat mencakup berbagai macam aspek dari belajar. Misalnya, dalam bentuk porto folio. Anda juga mengembangkan asesmen dengan kriteria yang jelas serta terbuka/transparan. Jangan lupa asesmen seperti ini mesti mendorong siswa untuk melakukan refleksi dan evaluasi diri. Sebaiknya, soal-soal tes baik formatif maupun sumatif bukan menggunakan bahasa teks dari buku ajar.

6.  Belajar menghubungkan siswa dengan masyarakat dan praktik yang berada jauh di luar kelas.
               Lingkungan seperti ini dapat terwujud jika Anda sebagai guru mendukung siswa terlibat dengan pengetahuan konteporer dan pengetahuan praktis di lapangan. Anda juga membuat rencana yang dapat menciptakan hubungan antara  siswa dengan komunitas sekitarnya.
            Lingkungan belajar yang mengapresiasi kebutuhan dan minat siswa merupakan salah satu cirri dari pembelajran IPA dalam tradisi konstruktivisme. Jika pembelajaran yang Anda lakukan telah bernuansa konstruktivisme maka tentu lingkungan belajar telah dikembangkan.

E. Karakteristik Anak usia SD
1.    Usia anak SD berkisar antara 7 tahun sampai dengan 11 tahun. Menurut Piaget perkembangan anak usia SD tersebut termasuk dalam katagori operasional konkrit.
2.    Pada usia operasional konkrit  dicirikan dengan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan tertentu yang logis, hal tersebut dapat diterapkan dalam memecahkan persoalan-persoalan konkrit yang dihadapi.
3.    Anak operasional konkrit  sangat membutuhkan benda-benda konkrit untuk menolong pengembangan  intelektualnya.
4.    Anak SD sudah mampu  memahami tertang penggabungan (penambahan atau pengurangan), mampu mengurutkan, misalnya mengurutkan  dari yang kecil sampai yang besar, yang pendek sampai yang panjang,
5.    Anak SD juga sudah mampu menggolongkan atau mengklasifikasikan berdasarkan bentuk luarnya saja, misalkan menggolongkan berdasarkan warna, bentuk persegi atau bulat, dan sebagainya.
6.    Pada akhir operasional konkret mereka dapat meahami tentang pembagian, mampu menganalisis dan melakukan sintesis sederhana.


F. Standar Kompetensi Guru IPA SD

                                     Standar Kompetensi Guru IPA SD
Kompetensi
Indikator
1.      Mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan kerja ilmiah dalam berbagai kegiatan penyidikan (investigation) dan dapat mengaplikasikan konteks sehari-hari.
1. Mengembangkan aspek kerja ilmiah antara lain mengamati dan mengukur terutama:
a. Mengumpulkan fakta yang relevan dan memadai
b. Mencari persamaan dan perbedaan
c. Membandingkan
d. Mengukur
2. Merencanakan penelitian atau percobaan, termasuk a. Menentukan alat/bahan yang akan digunakan
b.  Menentukan variabel-variabel
c.  Menentukan langkah kerja
d   Menentukan bagaimana mengolah data
3. Menerapkan konsep, termasuk :
a. Menghitung
b. Menerapkan konsep yang telah dipelajari dalam situasibaru 
4. Meramalkan, termasuk :
a.  Menggunakan pola untuk mengemukakan keadaan yang belum diamati
b.  Menghubungkan pola untuk mengemukakan keadaan yang belum diamati
c.   Memperkirakan peristiwa yang akan terjadi berdasarkan data yang ada
5. Menafsirkan, termasuk :
a.   Menghubungkan hasil pengamatan
b.   Menemukan pola
c.   Menyimpulkan
6.  Mengkomunikasikan, termasuk :
a.  Mempresentasikan data dan mengintreprestasikannya dalam bentuk grafik
b.  Membaca grafik atau diagram
c.  Menjelaskan/mendiskusikan hasil percobaan
d.  Menyimpulkan hasil percobaan
e.   Menulis laporan

7. Bersikap dan nilai ilmiah, antara lain :
a.       Rasa ingin tahu
b.       Ulet
c.       Jujur
d.       Terbuka
e.       Kritis
f.        Bekerjasama dengan orang lain
g.       Menghargai sejarah sains dan penemu
h.       Hemat energi
2.      Mengembangkan pemahaman siswa tentang proses fisika dalam konsep energi dan perubahannya, penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, serta manfaatnya untuk mempelajari fisika pada jenjang yang lebih tinggi.

1.  Mengidentifikasi bentuk-bentuk energi yang digunakan
2.  Menunjukkan beberapa perubahan bentuk energi dalam  kehidupan sehari-hari
3.  Mengidentifikasi sumber-sumber energi
4.  Menjelaskan konsep gaya dan pengaruhnya pada suatu benda.
5.  Menyelidiki sifat-sifat cahaya pada berbagai permukaan
6.  Menunjukkan cara energi berpindah dengan konduksi, konveksi dan radiasi
7.  Menjelaskan dan menyelidiki besar arus dan beda potensial pada rangkaian listrik sederhana secara seri dan pararel
8.  Menjelaskan dan menyelidiki hubungan antara kelistrikan dan kemagnetan
9.  Menunjukkan dan menerapkan cara-cara penggunaan energi secara bijaksana sesuai dengan prinsip korservasi energi
10.  Menguraikan keterkaitan konsep energi dan perubahannya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
11.  Menghubungkan konsep fisika dengan pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
12.  Merancang percobaan sederhana untuk perubahan bentuk energi
13.  Menjelaskan sumber-sumber energi yang bias diperbaharui dan yang tidak bisa diperbaharui
14.  Mengidentifikasi penggunaan berbagai pesawat sederhana dalam kehidupan sehari-hari
15.  Membedakan energi dan usaha dan menerangkan konsep ini dalam beberapa peristiwa sehari-hari
16.   Memahami hukum kekekalan energi

3.      Mengembangkan pemahaman siswa tentang proses biologi dalam konsep mahluk hidup dan kehidupannya serta manfaatnya untuk mempelajari biologi pada jenjang yang lebih tinggi.
1.   Menjelaskan perbedaan ciri-ciri mahluk hidup berdasarkan cirri-ciri yang tampak dan bagaimana mahluk hidup memenuhi kebutuhannya. 
2.   Mengidentifikasi factor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan.
3.   Menjelaskan dan menunjukkan adanya proses-proses kehidupan pada tumbuhan dan hewan (misalnya, bergerak, pencernaan, pernafasan, reproduksi)
4.   Menjelaskan cara mahluk hidup beradaptasi dengan lingkungannya dengan berbagai cara, dan adanya hubungan antara mahluk hidup dengan lingkungannya.
5.   Membandingkan dan menganalisis beberapa struktur organ bagian dalam mahluk hidup.
6.   Mengaitkan proses-proses kehidupan tumbuhan dan hewan dengan kehidupan sehari-hari siswa.
7.   Mengaitkan proses-proses kehidupan tumbuhan dan hewan dengan kehidupan sehari-hari siswa.
8.   Menguraikan keterkaitan konsep mahluk hidup dan proses kehidupan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
4.      Mengembangkan pemahaman siswa tentang sifat dan struktur materi (zat), penerapannya dalam kehidupan dan manfaatnya untuk memanfaatnya untuk mempelajari ilmu kimia pada jenjang yang lebih tinggi.

1.   Menjelaskan sifat-sifat benda padat, cair dan gas serta mampu mendeskripsikan perubahan-perubahan yang terjadi
2.   Menyelidiki perbedaan sifat-sifat benda padat, cair dan gas.
3.   Menunjukkan proses perubahan suatu benda (misalnya, wujud, warna, susunan) baik yang dapat balik (reversible) maupun yang tidak (irreversible)
4.   Menyelidiki cara membedakan benda konduktor dan isolator
5.   Menjelaskan bahwa berbagai keadaan dapat mempengaruhi suatu benda (berkarat, busuk dan sebagainya)
6.   Menguraikan keterkaitan konsep materi (zat) pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
7.   Menghubungkan konsep materi (zat) dengan pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

8.   Mengklasifikasi dan mengidentifikasi materi (dalam kehidupan sehari-hari) kedalam campuran dan zat murni (unsure dan senyawa)
9.  Merancang percobaan sederhana untuk pemisahan/pemurnian campuran.
10. Menjelaskan partikel-partikel penyusun materi (atom, molekul dan ion)
11. Membedakan dan mengidentifikasi berbagai berubahan materi (dalam kehidupan sehari-hari) ke dalam perubahan fisik dan perubahan kimia.
12.  Memahamai hokum kekekalan massa
5.      Mengembangkan pemahaman siswa tentang permukaan bumi dimana kita tinggal dalam ruang tata surya dan manfaatnya untuk mempelajari IPBA pada jenjang yang lebih tinggi.
1.   Menjelaskan gambara fisik permukaan bumi dan factor-faktor yang menyebab kan perubahan fisiknya dan pengaruh nya terhadap perubahan lingkungan hidup.
2.   Mengidentifikasi berbagai sumber daya alam yang dimanfaatkan oleh manusia dibumi.
3.   Menyebutkan cara-cara melestarikan sumber daya alam.
4.   Menjelaskan system tatasurya (matahari dan planet) menggunakan model.
5.   Membuat perkiraan ukuran (besar) antara planet dan jaraknya terhadap matahari.
6.   Menguraikan terjadinya gerhana bulan dan gerhana matahari
7.   Menguraikan pengaruh rotasi dan revolusi bumi pada kehidupan di bumi
8.   Menguraikan keterkaitan konsep struktur bumi dan tata surya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi
9.   Menghubungkan konsep struktur bumi dan tata surya dengan pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
6.      Mengembangkan pemahaman siswa tentang kepedulian terhadap perkembangan teknologi

1.   Merancang dan membuat suatu karya teknologi sederhana
2.   Menguraikan cara kerja produk teknologi dan konsep sains yang mendasarinya
3.   Menggunakan (mengoperasikan) suatu produk teknologi dengan benar
4.   Melakukan percobaan sederhana untuk menyelidiki hubungan antara gaya dan gerak.
5.   Merancangan dan membuat alat yang memanfaatkan energi angin, energi air (energi konetik dan potensial) dan energi matahari.
6.   Merancang dan membuat alat sederhana yang menghasilkan bunyi yang berbeda-beda
7.      Mengelola laboratorium dan pengembangannya untuk kepentingan pembelajaran
1.   Menjelaskan fungsi manajemen dalam pengelolaan laboratorium
2.   Menjelaskan fungsi kegiatan laboratorium dalam pembelajaran bagi siswa.
3.   Menjelaskan teknik perawatan, penyimpanan dan pengadministrasian fasilitas laboratorium dan bahan-bahan
4.   Merancang percobaan sederhana untuk kepentingan pembelajaran
5.   Menjelaskan jenis-jenis dan sumber-sumber bahaya yang dapat menyebabkan kecelakaan di laboratorium serta cara penanganan nya.
8.      Mengenal dan memanfaatkan teknologi informasi baik untuk kepentingan tugas supervisi maupun untuk kepentingan sekolah

1.   Mengoperasikan dan memanfaatkan teknologi komputer (hardware, software dan jaringan) untuk kepentingan supervisi.
2.   Menggunakan dan memanfaatkan internet untuk kepentingan informasi dan inovasi pendidikan
7jan08http://www.duniaguru.com/doc/skg/skg.htm















LATIHAN
 





1.      Bagaimana peranan psikologi dalam pembelajaran IPA SD?
2.      Bagaimana pembelajaran IPA SD yang sesuai dengan karakteristik siswa SD? Berikan contohnya.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar